Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Demi bangsa dan negara Indonesia di masa depan, mahasiswa millennial harus belajar membangun sikap kritis terhadap situasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara.
Demikian disampaikan Konsultan Komunikasi Publik, AM Putut Prabantoro kepada para mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Bakrie (FEIS UB), dalam diskusi bertemakan “Mencermati Komunikasi Politik Indonesia”, Rabu (12/12/2018) lalu.
Dengan membangun budaya kritis, menurut Putut, mahasiswa yang merupakan agen perubahan, dapat mempersiapkan bangsa Indonesia untuk mampu menghadapi ancaman dari kekuatan-kekuatan besar dunia di masa mendatang.
Sikap kritis itu harus dimulai dengan mengikuti berbagai perubahan atau fenomena yang terjadi di tanah air dan mengungkapkan kekritisannya secara logis yakni menggunakan data.
“Bersuara keras di jalan” tidak memiliki dampak berarti jika yang disuarakan tidak berdasarkan data yang valid dan logis," demikian menurut Putut Prabantoro seperti dikutip dari keterangannya kepada Tribunnews.com, Jumat (14/12/2018).
Menurut Putut Prabantoro, komunikasi politik itu tidak dapat dilihat hanya sebagai bagian dari komunikasi. Komunikasi politik harus selalu dilihat sebagai cara-cara yang dilakukan setiap pelakunya dalam mencapai tujuan yakni memenangkan pertarungan politik.
Kemenangan pertarungan politik itu akan berujung pada terpenuhinya kepentingan orang atau kelompok tersebut yang dapat berupa kekuasaan, diterimanya aspirasi atau nilai-nilai yang ditawarkan.
“Komunikasi politik itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, berunjuk rasa, berdebat di DPR, memasang pamflet atau baliho di jalan-jalan. Dalam komunikasi politik, selalu ada kepentingan yang akan dimenangkan atau dipertaruhkan dan tidak selalu kepentingan pihak yang menyuarakan. Hanya saja, kalau kita lihat pada saat sekarang, komunikasi politik yang terjadi sering mengabaikan akal sehat, data dan budaya lokal bahkan meninggalkan sikap kesantunan yang sebenarnya merupakan jati diri bangsa,” ujar Putut Prabantoro, yang juga Alumnus Lemhannas – PPSA XXI.
Menurut Putut Prabantoro, mahasiswa di mananpun dikenal sebagai agen perubahan (agent of change). Penyebutan ini muncul karena biasanya mahasiswa menghadapi kenyataan baru dalam periode hidupnya.
Sebagai orang baru dalam kehidupan nyata, mahasiswa memiliki idealisme dari mata kuliah yang dipelajari.
Idealisme tersebut ternyata tidak sesuai dengan nilai-nilai yang muncul dalam praktik-praktik dunia nyata. Sehingga dalam konteks ini, pertemuan antara nilai idealisme dan nilai-nilai praktik dunia nyata, memunculkan sikap kritis yang merupakan hasil dari konflik idealisme.
“Bagi mahasiswa Indonesia, seharusnya nilai kritis itu berangkat dari praktik hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bertitik tolak dari empat konsensus dasar yakni Pancasila, NKRI, UUD NRI 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga, politik di Indonesia harus diartikan sebagai cara sebuah bangsa mengatur hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang semuanya bertumpu dari keempat konsensus dasar. Jika dalam praktik politik di Indonesia ternyata ada yang ke luar dari keempat konsensus dasar itu, mahasiswa Indonesia harus kritis dan peka,” ujar Putut Prabantoro.
Masih menurut Putut Prabantoro, ada banyak cara untuk berkomunikasi politik. Namun yang paling mendasar dan utama adalah, bagaimana mewujudkan berkomunikasipolitik dengan cara bermartabat, berbudaya dan menggunakan data. Diabaikannya penggunaan data dalam berkomunikasi politik akan mendorong bangsa dan negara Indonesia pada situasi chaos, kacau balau.