TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sidang gugatan Oesman Sapta Odang (OSO) kepada KPU di Bawaslu, Jumat (28/12/2018), Komisioner KPU RI Hasyim Asyari menyebut caleg seperti Yusril Ihza Mahendra dilarang menjalankan profesi advokat yang saat itu tercatat masuk dalam tim kuasa hukum OSO.
Yusril kemudian mengatakan bahwa larangan tersebut baru berlaku jika yang bersangkutan sudah terpilih sebagai anggota legislatif.
Menanggapi hal tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan penafsiran Yusril tersebut berdasarkan kepentingan.
“Penafsiran itu kan sesuai kepentingan, biar kan saja supaya tak diramaikan,” jelas Mahfud ditemui di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (29/12/2018).
Mahfud sendiri mengapresiasi sikap dari KPU RI yang melarang caleg masih menjalani profesi advokat untuk menghindari konflik kepentingan sebagai interpretasi dari Pasal 240 ayat 1 dan ayat 2 huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Menurutnya apa yang disampaikan KPU RI sudah jelas merupakan larangan.
“Kalau KPU bicara seperti itu kan berarti dilarang, terus kenapa? Yang jelas KPU RI kan punya sikap,” tegas Mahfud MD.
Baca: Terbongkarnya Pabrik Penyulingan Miras di Krian Sidoarjo Berawal dari Tewasnya 2 Warga
Mengenai larangan yang disampaikan Hasyim Asyari tersebut Yusril mengatakan KPU RI salah memahami Pasal 240 ayat 1 dan ayat 2 huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mencantumkan persyaratan caleg yang sudah masuk Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR RI, yaitu tidak berpraktik sebagai advokat untuk menghindari konflik kepentingan dengan hak, wewenang, dan tugas anggota DPR RI.
Sedangkan, Yusril berpendapat bahwa kewajiban untuk tidak bekerja sebagai advokat baru berlaku jika yang bersangkutan sudah terpilih sebagai anggota DPR RI.
“Keberadaan surat pernyataan yang dilampirkan sebagai persyaratan membuat terang bahwa larangan berpraktik sebagai advokat baru berlaku setelah terpilih sebagai anggota legislatif,” tegasnya.
“Ketentuan itu baru berlaku jika menyangkut profesi seperti TNI, Polri, pejabat negara atau pimpinan BUMN/ BUMD, sementara ketentuan wajib mundur tak bisa berlaku bagi advokat, akuntan publik, dan notaris yang penghasilannya tidak berasal dari negara,” imbuhnya.
Yusril memperkuat pendapatnya dengan mengutip UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Dalam Pasal 20 ayat (3) mengatakan advokat yang menjadi pejabat negara tak melaksanakan profesi advokat selama memangku jabatan itu,” ungkap Yusril.