TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tertangkapnya dua pesohor, Vanessa Angel dan model berinisial AS, ketika diduga tengah 'melayani' tamu mereka di Surabaya, Jawa Timur, memperpanjang daftar selebriti di Indonesia yang disinyalir terjun ke dunia prostitusi online.
Menurut polisi, Vanessa memasang tarif Rp80 juta sekali kencan, sementara AS mematok harga Rp25 juta.
Sosiolog Imam Prasodjo menilai, praktik prostitusi yang dilakoni oleh selebriti tercipta sebagai dampak era kapitalisme global.
"Segalanya bisa jadi komoditi, bisa diperjualbelikan, termasuk imaji," ujar Imam kepada BBC News Indonesia, Minggu (06/01),
Menurut Imam, sosok selebriti yang tidak hanya berpenampilan menarik, tetapi juga punya ketenaran, berpendidikan, dan memiliki karier, memiliki nilai jual yang lebih di mata konsumen bisnis prostitusi. Mereka dianggap terbuai imaji dari sosok tersebut.
"Orang yang menjadi pembeli itu kan 'wah ini beda nih, artis nih, orang terkenal nih', segala macam. Jadi, dia bukan hanya orang cantik, tidak berpendidikan, di pinggir jalan yang dia temui, tapi ini ada fantasi nih, yang tentu harganya akan bisa lebih mahal, dan bahkan sangat mahal," tutur Imam.
Baca: Manajer Bicara tentang Tarif Kencan Artis VA Rp 80 Juta
Imaji itulah yang membuat konsumen berduit berani membayar mahal. Logika tersebut diibaratkan Imam seperti seseorang yang membeli jam tangan mewah.
"Ada orang jualan jam dengan harga sekian miliar, katanya limited edition. Tapi fungsi jam itu sendiri apa bedanya dengan yang lain?" ujarnya. "Tapi di situ ada status yang nempel terhadap jam itu."
Hanya muncikari yang jadi sasaran
Sementara itu, Minggu (06/01), Polda Jawa Timur melepas Vanessa setelah memeriksanya selama 24 jam. Ia pun berstatus sebagai saksi dan hanya dikenai wajib lapor kepada Polda Jatim.
Polisi baru menetapkan dua orang tersangka dalam kasus prostitusi online yang melibatkan Vanessa dan AS. Keduanya, yang berinisial ES dan TN, diduga merupakan muncikari yang menjadi perantara kedua artis dengan pelanggan mereka.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Eva Ahyani Djulfa, berpendapat bahwa terdapat masalah klasik terkait penanganan kasus prostitusi.
Dengan aturan yang ada saat ini, hanya muncikari yang selalu dijerat hukum oleh jaksa dalam kasus prostitusi.
"Ada permasalahan yang memang agak klasik kalau kita lihat aturan dalam KUHP, karena baik misalnya pasal tentang kesusilaan, pasal 296 misalnya, atau pasal 506 yang kita bicara delik pelanggaran, itu semua mengacu kepada larangan tentang perbuatan memberikan fasilitas kepada perbuatan yang sifatnya memberikan sarana untuk dilakukannya prostitusi," ujar Eva kepada BBC, Minggu (06/01).
Hal ini yang terjadi pada tahun 2015, dalam kasus prostitusi online berbeda, yang saat itu juga melibatkan nama sejumlah artis.
Sang muncikari, Robby Abbas, dijatuhi hukuman satu tahun empat bulan penjara setelah terbukti melanggar pasal 296 KUHP tentang kesusilaan. Berkebalikan dengannya, pekerja seks dan klien-kliennya bebas dari segala tuntutan.
Menurut Eva, hal itu karena adanya konteks pencegahan dalam KUHP. "Sebenarnya kalau muncikarinya tidak ada, pelacuran (juga) tidak ada. Gitu, kan?"
Meski demikian, sebenarnya aktor lain dalam praktik prostitusi juga bisa terjerat hukum.
Konsumen prostitusi bisa dijerat ketika ia menyewa PSK di bawah umur.
Jika itu yang terjadi, konsumen tersebut bisa dijerat Undang-undang Perlindungan Anak.
Di luar itu, pemidanaan baik konsumen maupun pekerja seks juga bisa dilakukan melalui pasal perzinahan. Itu pun jika ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan.
"Kalau istrinya yang melacurkan diri, atau kalau suaminya yang menjadi konsumen dari kegiatan prostitusi ini," tutur Eva. "Jadi, memang ada kelemahannya di situ, kaitannya dengan delik ini adalah delik aduan."
Aktor prostitusi lain juga bisa dijerat
Bagi Eva, fenomena prostitusi online yang melibatkan artis ini harus dilihat dari berbagai konteks.
"Crimes against morality kita harus definisikan lagi, mengenai fenomena prostitusi itu, karena kita bisa dilihat dari konteks pendekatan gender, pendekatan viktimologi, termasuk bukan hanya pendekatan hukum pidana," ungkapnya.
Menurutnya, perlu dilakukan pendalaman terhadap peran aktor-aktor yang terlibat dalam praktik tersebut, termasuk para artis yang menjadi 'dagangannya'. Apakah terdapat faktor keterpaksaan atau sukarela.
"Kalau dia memperdagangkan diri memang benar-benar untuk mendapatkan keuntungan materiil, saya kira kalau kita mau menggunakan KUHP saja, bisa saja," ujar Eva.
"Dalam posisi seperti itu, bisa dikatakan bahwa dia menjadi orang yang perbantuan. Atau bisa juga kalau memang mereka bersepakat, kita anggaplah mereka sebagai suatu turut serta di dalam perbuatan memberikan kesempatan untuk terjadinya prostitusi."
Meski demikian, hal tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya.
"Kelihatannya memang penegak hukum kita tidak terlalu berani untuk kemudian menggunakan ide saya tadi, medeplichtige atau medepleger, turut serta atau perbantuan," tutur Eva.
Selaras dengan Eva, Imam berpandangan, dalam fenomena prostitusi online yang melibatkan artis, orang-orang yang mencari uang bisa menjadi korban sekaligus menjadi pelaku.
"Orang-orang yang memperjualbelikan kenikmatan, memperjualbelikan seks, memperjualbelikan hubungan seperti ini, menjadi bagian komoditi, maka dia bisa saja mencari sasaran artis-artis tertentu yang memang bersedia atau mau menjual dirinya untuk hal-hal seperti itu," tuturnya.
Prostitusi jarang dipandang sebagai kasus perdagangan manusia
Menurut Eva, Indonesia memiliki ketentuan Undang-undang yang lebih tajam untuk bisa memberikan efek jera bagi pelaku prostitusi.
"Yaitu undang-undang tentang pemberantasan perdagangan orang. Jadi, kalau kita mengacu pada UU itu, memperdagangkan perempuan untuk tujuan eksploitasi seksual, itu ancamannya jauh lebih tinggi," paparnya.
Ancaman hukuman bagi pelaku perdagangan manusia (human trafficking) adalah 15 tahun penjara. Sementara berdasarkan Pasal 296 KUHP, pelaku diancam hukuman maksimal 1 tahun 4 bulan penjara.
Praktik prostitusi di Indonesia kerap kali masih dianggap sebagai praktik kejahatan jalanan biasa (street crime). Alasannya, istilah human trafficking lebih sering diasosiasikan dalam konteks besar, seperti perdagangan manusia lintas negara.
"Padahal dalam konteks lokal kita juga ada, itu bisa saja, dan jauh ancamannya lebih besar," tutur Eva.