TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Dr. Mudzakir, SH, dihadirkan sebagai saksi ahli di sidang kasus merintangi penyidikan KPK terhadap terdakwa mantan petinggi PT Paramount Interprise Internasional, Eddy Sindoro yang menjerat advokat, Lucas.
Dia menjelaskan mengenai alat-alat bukti yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK ke persidangan. Untuk dapat menilai kesahihan bukti-bukti, kata dia, merupakan kewenangan majelis hakim.
Menurut dia, penilaian kesahihan itu diputuskan majelis hakim setelah mendengarkan keterangan ahli yang relevan terkait pembuktian atas bukti tersebut.
Di perkara itu, rekaman sadapan antara Lucas dan Eddy Sindoro menjadi salah satu alat bukti yang dihadirkan ke persidangan. Selain itu, JPU pada KPK juga memutar rekaman sadapan itu di persidangan.
"Majelis hakim harus bisa menilai," kata Mudzakir, saat memberikan keterangan di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Kamis (14/2/2019).
Dia menyampaikan hal itu merespon pertanyaan salah satu kuasa hukum Lucas. Kuasa hukum mempersoalkan soal sah atau tidaknya bukti rekaman sadapan percakapan yang kerap diputar Jaksa KPK.
Baca: Pengusaha Ini Ungkap Sifat Veronica Tan hingga Tulis Puisi untuk Ahok/BTP Tetap Mantan Terindah
Hal itu mengingat pernyataan ahli digital forensik Ruby Zukri Alamsyah yang sebelumnya dihadirkan di persidangan Lucas. Saat itu, Ruby meragukan keaslian barang bukti percakapan suara antara Lucas dan Bos Paramount Enterprise International, Eddy Sindoro.
Keterangan, Ruby Alamsyah itu juga menanggapi keterangan Ahli forensik suara dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dhany Arifianto. Dhany diminta oleh KPK untuk meneliti suara percakapan yang diduga Lucas.
Namun, Dhany juga tidak bisa memastikan orisinalitas rekaman tersebut. Sebab rekaman yang berada di sebuah DVD-R tertulis KPK itu, dia terima masih tersegel dari lembaga antirasuah.
Mudzakir menegaskan, apabila masih ada keraguan atas keterangan ahli tersebut, majelis hakim dapat meminta opini lain sebagai penengah.
Dia mencontohkan, ahli penengah yang dapat dimintai pandangann merupakan ahli forensik dengan reputasi internasional.
"Jadi masing-masing pihak menemukan kebenaran matriil, kebenaran hakiki," tutur Mudzakir.
Sementara itu, ditemui setelah persidangan, kuasa hukum terdakwa Lucas, Irwan Muin, menilai dari penuturan ahli ā€ˇpidana, bukti rekaman percakapan antara terdakwa Lucas dengan Eddy Sindoro.belum memenuhi standar pemeriksaan berdasarkan digital forensik.
Seharusnya, kata dia, bukti-bukti tersebut diteliti lebih dalam oleh pakar di bidangnya merujuk metode-metode standar internasional.
"Apabila tidak memenuhi standar internasional tersebut maka tidak layak itu dijadikan alat bukti digital," kata Irwan Muin.
Baca: Potret Ibunda Hamish Daud Gendong Cucu Pertamanya
Sehingga, tegas Irwan, barang bukti tersebut sesuai keterangan ahli, dinyatakan tidak sah. Tidak hanya itu, Irwan juga menyinggung soal perolehan bukti tersebut.
"Perolehan dilakukan penyadapan itu di luar tindakan penyelidikan, karena saat itu penyelidikan (Lucas) belum ada," tambahnya.
Seperti diketahui, Lucas didakwa menghalangi proses penyidikan KPK terhadap tersangka mantan petinggi PT Paramount Interprise Internasional, Eddy Sindoro. Lucas diduga membantu pelarian Eddy ke luar negeri.
Selain itu, Lucas mengupayakan supaya Eddy masuk dan keluar wilayah Indonesia, tanpa pemeriksaan petugas Imigrasi. Hal itu dilakukan supaya Eddy tidak diproses secara hukum oleh KPK.
Atas perbuatan itu, Lucas didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Eddy merupakan tersangka dalam kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Kasus ini sudah bergulir sejak tahun 2016 ketika Eddy ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, Eddy mengungkapkan perjalanan ke sejumlah negara setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengobati penyakit.
Sehingga, dia membantah keberadaan di luar negeri menghindari proses hukum. Sejak ditetapkan sebagai tersangka 2016, dia sudah di luar negeri.
Pada saat itu, dia selalu berpindah-pindah, mulai dari Jepang, Kamboja, Hongkong, Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Selama berada di luar negeri, dia menggunakan paspor palsu Republik Dominika.