TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Tim kampanye Daerah Jokowi-Ma'ruf Provinsi DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi laporkan seorang pejabat tinggi negara berinisial ZH ke Bawaslu DKI karena diduga lakukan pelanggaran kampanye pada malam Munajat 212, Kamis (21/2) kemarin.
"Ada seorang pejabat tinggi negara ini belum waktunya kampanye sudah memberikan suatu statement mengarahkan pada salah satu calon capres. Pejabat negara ini adalah mengerti permasalahan yang dia tuangkan dalam aturan-aturan KPU. Berinisal ZH," kata Pras di Kantor Bawaslu DKI, Sunter, Jakarta. Selasa (26/2/2019)
ZH diduga telah melanggar aturan pejabat negara soal keterlibatan dalam kampanye. Padahal, sebagai sosok yang punya posisi sebagai pejabat negara, seharusnya ZH memberikan contoh baik, dan tidak menyalahgunakan jabatannya berkampanye di luar waktu yang telah ditetapkan KPU.
"Ini menyalahi aturan, dia mengkampanyekan di luar dari pada jam waktu yang ditentukan oleh KPU," ujarnya.
Ketua DPRD DKI itu menjelaskan bahwa laporannya ini didasari pada pernyataan ZH dalam sambutannya di atas panggung Munajat 212 di Monas, menganggap ZH telah berorasi dengan seruan mengajak.
Laporan Pras ke Bawaslu menitikberatkan pada seruan ZH soal "Persatuan Nomor Satu, Soal Presiden?," kemudian disambut jawaban dari para jamaah yang menjawab 2 dan 02.
"Nah ini yang sekarang saya laporkan. Itu aja," ungkapnya.
Baca: Soal Jokowi Larang Adzan, JK: Tak Mungkinlah, Cawapresnya Saja Kiai Maruf Amin
Dalam pelaporan ZH ke Bawaslu DKI, Pras turut melampirkan beberapa barang bukti, diantaranya berita-berita di media massa, dan video orasi dalam bentuk CD.
ZH dianggap melanggar Pasal 282 jo 283 ayat (1) dan ayat (2) jo. 547 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal ini menyebutkan pejabat negara struktural dan fungsional dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu.
Bila ZH terbukti sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, maka yang bersangkutan terancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).