Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyaknya perwira menengah aktif dan perwira tinggi aktif yang tidak memiliki jabatan struktural di TNI menjadi sorotan.
Guna mengatis masalah tersebut muncul wacana untuk merevisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
Ke depan perwira aktif TNI diharapkan bisa bertugas di kementerian dan lembaga sipil di luar yang diatur pada pasal 47 ayat 2 Undang-Undang TNI tersebut.
Wacana tersebut pun menimbulkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil antara lain Lembaga Bantuan Hukum, akademisi dan pakar di bidang politik dan keamanan, Komnas HAM RI, dan Lembaga Swadaya Masyarakat di Bidang Hukum dan HAM misalnya Imparsial.
Baca: Bawaslu Sukoharjo Sosialisasi ke Pedagang saat Blusukan ke Pasar Mojolaban
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pemerintah dan masyarakat tidak boleh mendorong upaya reorganisasi TNI dengan memperluas wilayah kerja para prajurit TNI ke wilayah sipil.
Menurutnya, pemerintah dan masyarakat harus mendorong upaya reorganisasi TNI untuk menghadapi ancaman dalam generasi perang keempat yakni ancaman siber.
Hal itu diungkapkannya saat diskusi publik bertema Quo Vadis Reformasi, Kembalinya Militer Dalam Urusan Sipil di kantor Komnas HAM RI, Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat (1/3/2019).
"Tapi mendorong mereka untuk menghadapi kecenderungan dinamika generasi perang kekinian (generasi perang keempat). Maka Indonesia perlu membangun pertahanan siber yang kuat dengan pasukan yang kuat di wilayah itu (siber) untuk melihat kedepan," kata Al Araf.
Baca: Siti Zuhro Sebut Debat Maruf dengan Sandiaga Lebih Besar Animonya
Ia mengatakan, saat ini ada asumsi yang menyebutkan bahwa dalam era kekinian militer di negara-negara maju sedang mencari cara memenangkan perang tanpa menyentuh lawan.
"Karena sejatinya sistem teknologi komando dan pengendalian semuanya berdasar di situ. Kalau nonton film Die Hard itu kan tidak perlu pakai perang fisik, tapi dengan mengendalikan sistem komando dan kendali bisa hancur sebuah negara. Itu ilustrasi yang baik sebetulnya," jelas Al Araf.
Sebelumnya ia menjelaskan, ketika proses gelombang demokratisasi terjadi di dunia, semua negara melakukan penataan atau reorganisasi militernya.
Upaya itu juga dilakukan oleh Indonesia yang dikenal dengan reformasi TNI, penghapusan fungsi sosial politiknya, dan semua militer yang ada di DPR pada saat orde baru kembali ke institusi TNI.
Baca: SBY Tunjuk Pakde Karwo Jadi Komandan Pemenangan Demokrat untuk 21 Provinsi di Indonesia Timur
"Itulah yang kemudian di dalam reformasi TNI ada tuntutan tentang reformasi TNI terkait dengan pencabutan Dwi Fungsi ABRI, restrukturiasi Komando Teritorial, reformasi peradilan militer, larangan TNI berbisnis dan berpolitik, serta upaya membangun profesionalisme militer itu sendiri. Itu bagian dari tuntutan reformasi dan reformasi TNI," kata Al Araf.
Menurutnya, pergeseran generasi baru perang mempengaruhi banyak negara melakukan reorganisasi militernya dalam konteks perubahan lingkungan strategis di dunia pertahanan.
Menurutnya, hari ini, dinamika generasi perang sudah dalam tahap generasi perang keempat.
Ia menjelaskan, generasi perang pertama sampai ketiga berdasar pada asumsi yang mengedepankan jumlah personel yang banyak.
"Tapi generasi perang keempat dengan dinamika perang asimetris, semua negara dasar utama perangnya adalah melihat pada pembangunan teknologi pertahanan yang modern ditambah kualitas tentara profesional," jelas Al Araf.
Ia melanjutkan, atas dasar itu, reorganisasi militer dengan melihat generasi perang keempat dilakukan banyak negara dengan dua tahap.
Pertama, memperkuat struktur dengan dinamika asimetris dan kedua mengurangi struktur yang tidak efektif untuk generasi perang keempat.
"Dampaknya, di banyak negara misalnya Israel, Australia, Amerika Serikat membangun pertahanan siber yang kuat dengan orientasi ke masa depan. Bahkan Perdana Menteri Israel menyebutkan, pertahanan siber mereka lebih kuat daripada Mossad yang mereka miliki," kata AlAraf.
Menurutnya, negara-negara di dunia yang melakukan upaya itu melihat persoalan dasar reorganisasi militernya ke arah membangun pertahanan siber yang kuat untuk ancaman dari luar.
"Kalau hoax Ratna Sarumpaet dan sebaginya tidak perlu ditangani juga sama militer. Tapi yang sifatnya lebih ke ancaman dari luar," kata Al Araf.
Di samping itu, negara-negara yang berorientasi ke generasi perang keempat juga melakukan pengurangan struktur yang tidak efektif.
Ia mencontohkan, angkatan bersenjata di Belanda mengurangi satuan divisi tank Leopard.
Sedangkan, di Amerika Serikat menurutnya telah melakukan pengurangan jumlah kekuatan Angkatan Darat sebanyak 120 ribu pasukan secara bertahap sejak 2012 sampai 2018.
"Di Tiongkok jumlah kekuatan Angkatan Darat dikurangi dari 300.000 prajurit sampai 200.000 prajurit," kata Al Araf.