Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat peristiwa Talangsari pada awal Februari 1989, Amir (74) berprofesi sebagai seorang guru Agama di sebuah SD Negeri di Lampung Timur.
Selain seorang guru agama Islam, saat itu kehidupan Amir terbilang cukup karena ia juga memiliki 450 ekor ayam petelur.
Saat peristiwa terjadi ia mengaku tinggal di Dusun Bandar Agung, Labuhan Maringgai (saat ini Bandar Sribhawono), Lampung Timur.
Baca: Jenazah DPO Poso Diidentifikasi di RS Bhayangkara
Ia mengatakan, saat itu ia sudah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak tahun 1982 dan memiliki seorang istri serta empat orang anak.
Amir mengaku bingung ketika seorang staf Koramil setempat mendatanginya setelah sekira sebulan dari peristiwa bentrok antara TNI dan masyarakat sipil tersebut.
Baca: Sandy Tumiwa Terjerat Narkoba Narkoba, Ibunya Berharap Direhabilitasi
Alasannya, Amir mengaku tidak pernah terlibat sama sekali dengan kelompok jemaah Warsidi yang saat itu terlibat konflik dengan TNI.
Namun, staf tersebut mengajaknya ke kantor Koramil setempat untuk dimintai keterangan dan dijanjikan untuk dipulangkan setelah proses selesai.
Namun ternyata, Amir tidak dipulangkan, melainkan dibawa ke Kodim setempat.
"Ternyata dibawa ke Kodim. Pernyataannya persis seperti itu. Hanya diminta keterangan, lalu akan dipulangkan. Langsung dibawa ke Korem, dibilang seperti itu lagi. Dari Korem langsung dimasukan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Rajabasa sampai 16 bulan," kata Amir.
Ia mengaku ditahan bersama sejumlah warga dusunnya di sebuah blok khusus tempat orang yang diduga anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).
Saat itu menurutnya, ia juga ditahan bersama sejumlah pemuda Talangsari.
Meski di dalam tahanan, ia mengaku saat itu masih mendapat gaji sebagai PNS meski beberapa bulan sempat tidak menerima gaji.
Baca: Gara-gara Sentuh Organ Intim Istrinya, Lelaki Ini Nekat Potong Tangan Saudara Iparnya
Namun menurutnya, jumlahnya hanya setengah dari yang seharusnya.