Untuk itu, istrinya bahkan harus menjual ternak ayam petelurnya untuk kebutuhan hidup dan karena tidak bisa mengurusnya.
"Jadi ternak yang saya pelihara itu kan ibu tidak bisa mengurus. Akhirnya dijual untuk melanjutkan kehidupannya. Gaji kan ada beberapa bulan yang tidak diberikan," kata Amir.
Ia mengaku baru dibebaskan pada 1990 dan baru bisa kembali mengajar pada 2003.
Sejak 1990 sampai pensiun pada 2005, ia pun mengaku hanya mendapat gaji setengah dari yang seharusnya.
Meski ia telah berupaya menuntut haknya ke Dinas Pendidikan sampai tingkat Provinsi, namun hasilnya nihil.
"Pensiun saja tidak diberi SK dan tidak digaji otomatis. Sudah saya urus berkali-kali. Alasannya, 'Pokoknya kamu, Pak otomatis pensiun'. Mana SK nya? 'Tidak ber-SK' itu hukum seperti apa?" kata Amir menceritakan nasibnya.
Baca: Syahrini dan Reino Barack Akan Buka Suara Soal Pernikahan
Amir mengalami hal tersebut hingga kini meski peristiwa itu sudah sejak 30 tahun lalu.
Amir menceritakannya ketika mendatangi kantor Komisi Nasional HAK Asasi Manusia RI (Komnas HAM RI) Menteng Jakarta Pusat, Senin (4/3/2019).
Ia datang bersama enam orang korban dan keluarga korban peristiwa Talangsari lainnya serta aktivis HAM dari Amnesty International Indonesia dan KontraS untuk meminta Komnas HAM RI menolak deklarasi damai Talangsari pada Rabu (20/2/2019) dan mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Ia bahkan mengatakan, akan meminta anak-anaknya untuk terus menyuarakan pengusutan kasus tersebut jika dirinya meninggal suatu hari nanti.
"Selama saya masih hidup ini harus dilanjutkan (pengusutannya). Walaupun sampai mati pun anak saya akan saya ajak untuk meneruskan," kata Amir.