TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putri terdakwa kasus penyebaran berita bohong atau hoaks Ratna Sarumpaet, Atiqah Hasiholan, mengatakan sudah berkonsultasi dengan sejumlah pakar hukum pidana dan mendengarkan pendapat ahli pidana yang berkomentar di tayangan televisi dan media massa terkait dengan perkara ibunya.
Ia menilai dakwaan yang diterapkan Jaksa Penuntut Umum pada ibunya tidak tepat.
Hal itu disampaikannya usai menemani ibunya menjalani sidang lanjutan dengan agenda eksepsi atau nota keberatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (6/3/2019).
"Pastinya sudah konsultasi dengan berbagai ahli pidana juga. Di media-media, di TV-TV juga para ahli menyampaikan hal yang sama seperti di eksepsi bahwa dakwaan yang didakwakan ke ibu saya itu tidak tepat. Dan ini adalah, delik materil bukan delik formil jadi harus ada akibatnya," kata Atiqah.
Baca: Ratna Sarumpaet Berharap Penangguhan Penahanannya Dikabulkan Minggu Depan
Ia juga mempertanyakan akibat keonaran yang ditimbulkan ibunya dari dakwaan jaksa.
Menurutnya, cuitan para tokoh atas ibunya dan demonstrasi yang muncul setelah sejumlah tokoh nasional mencuit tentang kondisi ibunya pasca operasi plastik bukanlah akibat keonaran yang dimaksud dalam pasal yang didakwakan pada ibunya.
"Kalau mereka (pakar pidana) kasih contoh di TV waktu itu disampaikan seperti Mei 98, Malari dan lain-lain. Ya kalau demonstrasi itu kan ya kalau bagi saya yang tidak mengerti saja, itu bukan kerusuhan dan keonaran, itu aspirasi," kata Atiqah.
Dilansir dari Wartakotalive.com, Professor Andi Hamzah menilai pasal yang dikenakan kepolisian pada Ratna tidak tepat dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada Selasa (9/10/2018).
Dalam penjelasan awal, Professor Andi Hamzah mencoba melihat apakah kebohongan Ratna Sarumpaet bisa dijerat pasal 28 UU ITE.
Dari hasil penelaahan Professor Andi Hamzah, maka tak bisa dijerat UU ITE lantaran UU ITE mengharuskan ada kerugian transaksi elektronik akibat penyiaran berita bohong tersebut.
"Sama sekali tidak ada hubungannya dengan kasus ini. Karena ini delik materiil, artinya sudah terjadi kerugian konsumen dalam hal transaksi elektronik sama sekali. Disini tidak ada transaksi elektronik sama sekali," kata Professor Andi Hamzah.
Berikutnya Professor Andi Hamzah menjelaskan ayat pasal 14 UU 1/1946 yang berbunyi 'Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun'.
Menurut Professor Andi Hamzah, ayat 1 pasal 14 UU 1/1946 merupakan delik materiil. Dimana untuk memidanakan seseorang sudah harus terjadi keonaran di kalangan rakyat.
Professor Andi Hamzah mengambil kesimpulan dalam kasus Ratna Sarumpaet belum terjadi keonaran tersebut.
Sebab berdasarkan KBBI disebutkan sesuatu disebut telah masuk dalam kategori keonaran apabila polisi sudah sampai turun tangan untuk melerai keonaran tersebut.
Berikutnya Professor Andi Hamzah menelaah ayat 2 pasal 14 UU 1/1946 yang berbunyi 'Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapatmenyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun'.
Professor Andi Hamzah kembali menarik pengertian keonaran dari KBBI yang menjelaskan arti keonaran adalah kegemparan,kerusuhan, keributan yang baru dapat diatasi setelah polisi bertindak.
"Jadi kalau baru ribut di rumah tangga,ribut di RT/RW, itu belum. Karena bisa diselesaikan tanpa polisi," kata Professor Andi Hamzah.
Professor Andi Hamzah juga menganggap Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Prabowo tak boleh disebut patut menyangka bahwa berita yang disampaikan Ratna Sarumpaet bohong.
Makanya Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Prabowo tak bisa dikenakan pasal-pasal itu.
Sementara untuk pasal 15 UU 1/1946, Professor Andi Hamzah menyebut polisi harus bisa membuktikan unsur-unsur di dalam pasal itu dalam peristiwa Ratna Sarumpaet.
Berikutnya Professor Andi Hamzah menyebut ada masalah besar dalam UU 1/1946.
Masalah besar itu karena pasal 14 dan pasal 15 UU 1/1946 tidak dioperasionalkan ke dalam KUHP yang diikuti Indonesia sekarang.
"Jadi pada tahun 1946 pemerintah RI menyatakan KUHP yang digunakan adalah KUHP 1 Maret 1942. Ditambah lagi pasal 14 dan pasal 15 yang tidak dioperasional di KUHP 1 Maret 1942 itu," kata Professor Andi Hamzah.
Kemudian baru pada tahun 1958 pemerintah RI baru sadar bahwa ada 2 KUHP yang dipakai sejak 1946 sampai tahun 1958.