TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet, diproses hukum atas dugaan penghinaan terhadap institusi ABRI.
Robet diduga melakukan tindak pidana saat berorasi di Aksi Kamisan, seberang Istana Negara, pada 28 Februari 2019.
Dalam orasinya, dia menyanyikan lagu yang kerap dinyanyikan pada waktu aksi unjuk rasa tahun 1998 untuk menyindir institusi ABRI.
Pengamat hukum siber, Galang Prayoga, menilai pernyataan Robet itu tidak dimaksudkan untuk menghina seseorang ataupun golongan yang berbasis Suku, Agama, Ras, dan AntarGolongan (SARA).
Baca: ICJR dan LBH Pers Minta Proses Pengusutan Kasus Robertus Robet Dihentikan
Pada waktu menyampaikan orasi saat aksi Kamisan, menurut dia, Robet hanya menyinggung dwifungsi TNI, agar tidak hidup kembali.
"Pejabat pemerintah ataupun lembaga negara tidak masuk dalam kategori ini," kata dia, kepada wartawan, Jumat (8/3/2019).
Dari pernyataan itu, kata dia, pihak TNI tidak pernah merasa tersinggung. Hal ini terbukti dari tidak adanya laporan kepada kepolisian dari instansi tersebut.
Melalui, Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Sisriadi, mengatakan TNI tidak tersinggung terhadap materi orasi Robet. Justru, TNI menilai orasi itu menjadi masukan berharga untuk memperbaiki diri.
Menurut Ketua Himpunan Pemerhati Hukum Siber Indonesia itu pihak TNI saja tidak mempermasalahkan pernyataan Robet mengapa justru ada upaya proses hukum.
"Sudah ada pernyataan dari pihak TNI. TNI saja tidak tersinggung loh, kenapa dipersoalkan ini Robet," kata dia.
Sehingga, dia menambahkan, penangkapan terhadap Robet terkesan mengada-ada.
"Robet ini kan tidak pernah menyebarkan ujaran kebencian melalui media sosial. Ini tidak masuk akal. Terkesan mengada-ada," tambahnya.
Sebelumnya, Dosen UNJ, Robertus Robet diduga telah melakukan tindak pidana saat berorasi di Aksi Kamisan, seberang Istana Negara, pada 28 Februari 2019. Dalam orasinya, dia menyanyikan lagu yang kerap dinyanyikan pada waktu aksi unjuk rasa 1998 untuk menyindir institusi ABRI.
Atas perbuatan itu, penyidik menjerat Robertus Robet menggunakan pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penghinaan Penguasa atau Badan Hukum di Indonesia.
Jika, mengacu kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, MK dalam pertimbangannya menyebutkan terkait pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa.