TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akan menggelar sidang beragenda pembacaan tuntutan atas nama terdakwa Idrus Marham terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1.
Penasihat Hukum Idrus Marham, Samsul Huda, meminta kliennya dituntut memenuhi unsur keadilan. Sebab, kata dia, selama ini mantan menteri sosial itu sudah bersikap kooperatif sejak awal pemeriksaan perkara.
"Idrus Marham sudah bersikap kooperatif dengan mengikuti semua proses penyidikan dan persidangan dengan baik. Bahkan dengan besar hati mengundurkan diri sebagai menteri sebelum diumumkan sebagai tersangka," kata Samsul, kepada wartawan, Kamis, (21/3/2019).
Menurut dia, mantan sekretaris jenderal Partai Golkar itu layak mendapatkan keringanan tuntutan, karena tidak mempersulit upaya lembaga antirasuah itu selama melakukan penyidikan.
Baca: Kelakar Idrus Marham kepada Eni Saragih, Lo Saja yang Jadi Ketum
Selain itu, kata dia, Idrus Marhan tidak mengajukan upaya hukum praperadilan, maupun mengajukan nota keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan.
"Sehingga sidang berjalan sangat lancar," kata dia.
Dia menegaskan, Idrus tidak sama sekali menerima uang suap dari pengusaha maupun pihak lainnya. Sejumlah saksi yang dihadirkan, dia menambahkan, menyatakan Idrus tidak tahu menahu mengenai proyek PLTU Riau-1.
"Idrus Marham sama sekali tidak menerima uang dan tak tahu kalau Eny Saragih menerima uang terkait proyek Riau. Bahkan Idrus Marham kaget saat tahu kalau Eny menerima uang dari Samin Tan dan kawan-kawan untuk Pilkada Suaminya, sehingga terkena Pasal Gratifikasi," kata dia.
Dia menegaskan, Idrus Marham berada dalam pusaran kasus PLTU Riau-1, karena 'ditarik-tarik' dan 'dicatut namanya' oleh Eny Saragih, sebagaimana pengakuan Eny Saragih di depan sidang.
"Tindakan Eny Saragih semua untuk kepentingan dirinya sendiri dan untuk membiayai Pilkada Suaminya di Temanggung," tambahnya.
Baca: Idrus Marham Prihatin Diproses Hukum karena Diduga Terlibat Suap Proyek PLTU Riau-1
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Idrus Marham bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019, Eni Maulani Saragih terlibat menerima uang Rp 2,25 Miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
Johanes Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd). Uang itu diberikan untuk proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Dalam surat dakwaan itu, JPU pada KPK menyebut pemberian uang itu diduga agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Rencananya, proyek akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
Semula, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.
Tetapi, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, akhirnya Kotjo menemui Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Lalu, Kotjo meminta bantuan Novanto agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN.
Kemudian, Novanto mempertemukan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang duduk di Komisi VII DPR, yang membidangi energi.
Selama perjalanan kasus ini, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
Di dalam surat dakwaan disebutkan, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Idrus saat itu mengisi jabatan ketua umum Golkar, karena Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan e-KTP.
JPU pada KPK menduga Idrus berperan atas pemberian uang dari Kotjo yang digunakan untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Idrus disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.
Atas perbuatan itu, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.