"Tujuannya ada dua. Pertama agar pemilih takut ke TPS. Kedua, untuk mengarahkan agar memilih calon tertentu," jelasnya.
Sayangnya, lanjut Karyono, teror politik yang menjadi ancaman demokrasi dan peradaban ini tidak diikuti aturan hukum pemilu yang tegas.
Baca: Otavio Dutra Absen Latihan Bersama Persebaya Surabaya, Djadjang Nurdjaman Ungkap Sebabnya
Padahal teror politik membuat keresahan masyarakat.
Teror ini membuat masyarakat tidak bebas menentukan pilihannya.
Itulah sasaran teror dan intimidasi, yakni menyerang psikologi masyarakat.
"Sayangnya, pelaku teror dan intimidasi politik ini sulit dijerat dengan UU pemilu. Penyelesaiannya pun sering tidak jelas," kata Karyono.
Sementara itu, Pakar Pilitik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit mengatakan, teror politik ini hanya bisa dilawan dengan pendidikan politik yang konsisten.
Mulai yang paling kecil keluarga dari orang tua kepada anak, di sekolah dari guru kepada murid, di kampus dari dosen kepada mahasiswa, serta dalam organisasi dari ketua kepada anggota.
Bagi Arbi, demokrasi Indonesia dalam posisi dilematis dan terbelakang.
Di satu sisi memang harus diakui bahwa kodrat demokrasi adalah strategi dengan manipulasi dalam menyajikan pilihan kepada masyarakat.
"Manipulasi itu misalnya, menunjukkan yang satu baik sekali dan yang satunya sangat tidak baik. Dalam politik elektoral itu wajar," jelas Arbi.
Namun, di sisi lain yang muncul justru memberi ketakutan pada Masyarakat.
Publik tak diberikan kesempatan untuk memilih mana yang benar-benar baik dan mana yang tidak.
"Dalam posisi ini, bisa dikatakan terjadi teror, karena masyarakat dikasih pilihan yang semuanya tidak baik. Ini teror dalam demokrasi karena masyarakat tak diberi kesempatan memilih sehingga bisa memicu golput," kata Arbi Sanit.