TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar, mengungkapkan modus operandi yang dilakukan politisi pada saat melakukan korupsi. Dia berkaca dari proses penegakan hukum terhadap sejumlah politisi.
Pertama, dia menjelaskan, modus operandi jual-beli jabatan.
Menurut dia, modus operandi ini merupakan cara sederhana tanpa harus mengambil uang negara secara langsung. Uang negara hasil korupsi, kata dia, dikorupsi pejabat negara yang membeli jabatan.
"Bentuk modus ini yang berkaitan dengan jabatan adalah KKN. Mengangkat anak, ponakan, dan kerabat pada jabatan-jabatan strategis di pusat atau di kota-kota besar lainnya," kata Fickar, kepada wartawan, Jumat (29/3/2019).
Baca: Ramai Soal Dealer Motor Utamakan Pembeli Kredit Dibanding Tunai? Berikut Faktanya
Dia mencontohkan, kasus suap terkait jual-beli jabatan di Kementerian Agama yang diduga dilakukan mantan Ketua Umum PPP, Romahurmuziy.
Selain itu, kata dia, proses hukum terhadap mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, yang dinilai menerima hadiah atau janji terkait dengan pengurusan kuota impor daging pada Kementerian Pertanian.
"Biasanya, para politisi jenis ini beroperasi di kementerian yang dipimpin oleh orang partainya," kata dia.
Kedua, kata dia, kampanye atau membina komunikasi dengan konstituen melalui program-program sosialiasi, bimbingan teknis (bimtek) atau pelatihan-pelatihan dr sebuah kementerian.
Baca: BREAKING NEWS Foto & Video Terbaru Pemakaman Hj Dian Djuriah Rais Pemilik Masjid Kubah Emas Depok
Melalui kegiatan-kegiatan itu, menurut dia, pengeluaran-pengeluaran biaya sepenuhnya dibungkus oleh biaya kementrian termasuk uang saku akomodasi dan transportasi politisi.
"Modus ini bisa terjadi pada kementrian/lembaga negara yang dipimpin orang partai atau jenis-jenis kegiatan yang berkaitan dengan komisinya di DPR," ujarnya.
Untuk modus ini, dia menegaskan, aparat penegak hukum tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah melacak, karena tidak ada uang yang berpindah secara fisik dalam jumlah besar.
Terakhir, modus operandi pemungutan rente atau prosentasi nilai proyek, atau "upah pungut". Dia menjelaskan, politisi mencoba meloloskan proyek-proyek kementerian, pemerintah daerah atau lembaga lainnya.
DIa mencontohkan, keterlibatan dua politisi Partai Golkar, yaitu Idrus Marham dan Eni Maulani Saragih di kasus suap proyek PLTU Riau-1. Selain itu, kasus korupsi pembahasan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Kebumen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016. Taufik diduga membantu memuluskan dana alokasi khusus Rp 100 miliar itu.
"Ini bisa terjadi di semua kementrian dan lembaga atau pemda tanpa berkaitan dengan partai sang politisi. Ini murni abuse a power, penyalahgunaan kekuasaan," tambahnya.