TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tulisan tangan tidak beraturan di dinding rumah serta beberapa kosa kata Bahasa Indonesia yang terucap dari mulut anak-anak di pedalaman Pulau Buru, Maluku, sudah cukup membuat Brigadir Kepala Bastian Tuhuteru (31) bahagia.
Perjuangannya menuntun mereka belajar membaca dan menulis karena jauh dari sentuhan pendidikan itu perlahan menunjukkan hasilnya.
Bastian yang kini menjabat Kepala Unit Binmas, Polsek Namrole, Polres Pulau Buru, Polda Maluku, membagikan waktunya untuk mengajar anak-anak itu di sela tugasnya sebagai polisi.
Dia mengajar di sejumlah kampung di pedalaman Pulau Buru yang belum memiliki gedung sekolah. Salah satunya di komunitas adat terpencil Dusun Walapau, Desa Wamlama, Kecamatan Namrole, Kabupaten Buru Selatan.
Walapua adalah satu dari sejumlah kampung di daerah itu yang masih terisolasi. Jaraknya dari Namrole, ibu kota Kabupaten Buru Selatan, sekitar 20 kilometer.
Walapua merupakan dusun di pegunungan tanpa jalan memadai. Untuk menjangkaunya, orang harus berjalan kaki selama berjam-jam melewati jalan setapak dan menyeberangi dua sungai.
Baca: PENJELASAN LENGKAP Partai Demokrat Soal Surat Internal SBY tentang Rapat Akbar yang Bocor
Tenaga pengajar terutama dari luar daerah, jarang ada yang berani masuk ke dusun itu. Apalagi beberapa catatan kriminal seperti pembunuhan berencana secara sadis pernah terjadi di wilayah ini.
Bastian termasuk polisi pertama yang menembus dusun itu. Bila musim panas, ia datang ke dusun itu dengan motor trail. Bila musim hujan dia menunggu air sungai surut.
Namun dia menyeberang juga seperti saat mengantar kotak suara pada pemilihan gubernur Maluku Juli 2018 lalu.
Dalam suatu kesempatan saat bertugas di sana pada 2016, Bastian mendapati banyak anak di kampung itu tidak sekolah lantaran tak ada gedung sekolah. Setiap hari mereka mengikuti orangtua ke hutan, meramu dan berburu. Melihat orang baru mereka tidak mau mendekat.
Awalnya dicurigai
Sarjana pendidikan dengan studi khusus ilmu bimbingan konseling itu, lalu mendekati tokoh adat dan menyampaikan niat untuk mengumpulkan anak-anak. Pada awalnya, inisiatif itu ditolak.
Warga kampung yang hingga saat ini menganut kepercayaan lokal di bawah pimpinan kepala kampung, curiga bahwa Bastian sedang menjalankan misi penyebaran agama.
Namun ia tidak menyerah dan berulang kali datang ke sana. Ia juga berusaha mendekatkan diri dengan mempelajari bahasa lokal.
Baca: Mendaki Gunung Arjuno Lalu Hilang Jejaknya Selama 6 Bulan, Faiqus Ditemukan Tinggal Tulang-Belulang
Benar apa yang pernah diucapkan oleh tokoh revolusioner Afrika Selatan, Nelson Mandela, “Jika Anda berbicara kepada seseorang menggunakan bahasa yang ia pahami, maka kata-kata Anda hanya akan masuk ke kepalanya. Namun jika Anda berbicara dengan bahasanya, maka kata-kata Anda akan masuk ke dalam hatinya.”
Setiap kali saya mengajar, banyak orang tua ikut hadir dan mengawasi, jangan sampai saya menyebarkan agama. Saya yakinkan mereka bahwa saya ini polisi Republik Indonesia, bukan polisi Kristen atau polisi Islam
Warga kampung yang mulai percaya kepada Bastian akhirnya memperkenankan Bastian mengajarkan baca-tulis kepada anak-anak di sana dengan catatan tidak boleh menyebarkan agama.
“Meski begitu, mereka sepertinya belum yakin. Setiap kali saya mengajar, banyak orang tua ikut hadir dan mengawasi, jangan sampai saya menyebarkan agama. Saya yakinkan mereka bahwa saya ini polisi Republik Indonesia, bukan polisi Kristen atau polisi Islam,” katanya.
Setelah mendapat restu dari para tetua, Bastian lalu ke Namrole untuk membeli peralatan ajar seperti kertas, spidol, poster angka, dan huruf.
Tak lupa beberapa bungkus permen untuk oleh-oleh sekaligus penarik bagi anak-anak. Dengan memberikan permen atau mengajak berboncengan sepeda motor, anak-anak pedalaman sangat senang. Setiap kali mendengar bunyi sepeda motor menuju kampung, anak-anak akan berlari menjemputnya.
Pada awalnya mereka belajar di tenda darurat. Di bawah terpal tanpa dinding itu Bastian mulai memperkenalkan huruf dan angka. Mengajari mereka menulis dan menggambar serta menyanyi lagu “Indonesia Raya” dan menghafal sila-sila Pancasila.
Setelah dari tenda mereka pindah ke salah satu rumah warga. Ia lalu mengajak warga untuk membangun sekolah darurat berukuran 6 meter x 5 meter.
Melihat semangat anak-anak dan warga di sana, Bastian menginginkan agar sekolah darurat itu menjadi cikal bakal lahirnya sekolah. Ia lalu mendekati Dinas Pendidikan Kabupaten Buru Selatan untuk meminta dukungan.
Ia mengajukan izin sekolah dan meminta dinas menempatkan guru di sana. Tahun lalu, sekolah itu diresmikan. Kini sekolah itu memiliki tiga angkatan dengan jumlah siswa 40 orang. Seorang guru merangkap kepala sekolah ditugaskan di sana.
"Saya sudah senang sekali karena sudah ada guru. Sekarang kalau ke kampung itu, anak-anak sudah menyapa dengan ucapan seperti selamat pagi, selamat siang, dan terima kasih. Di dinding rumah mereka banyak coretan," kata bastian.
"Mereka menulis nama mereka, nama orangtua, dan juga menggambar gunung dan hewan. Saya terharu melihat semua itu,” imbuhnya.
Selain mengajar di kampung itu, Bastian juga mengajar anak-anak di beberapa kampung lain di Pulau Seram dan wilayah lain pedalaman Pulau Buru saat ada penugasan khusus. Bahkan, ia juga mengajar lansia.
Nalurinya sebagai seorang guru selalu muncul bila melihat anak-anak di pedalaman tidak mengenyam pendidik.
Di tas ranselnya, dia selalu membawa serta pena, kertas, dan tentu saja permen. Biaya yang dikeluarkan untuk mengajar di pedalaman itu ia sisikan dari penghasilannya.
Penghargaan
Pengabdian tanpa pamrih yang dilakukan Bastian bukan hanya mengajar di pedalaman. Sejak menjadi anggota Polri pada 2005 dan sambil kuliah pada jurusan bimbingan konseling, ia kerap mengunjungi para tahanan di Rumah Tahanan Polda Maluku di Ambon.
Tujuanya untuk memberikan konseling. Salah satunya adalah mantan kepala daerah di Maluku yang terlibat kasus korupsi.
Ia juga menjadi anggota Polri di Maluku pertama yang membentuk polisi cilik. Anak-anak di Namrole yang tergabung dalam polisi cilik kini sudah masuk angkatan kedua.
Lewat polisi cilik, ia membimbing anak-anak agar disiplin dan menghindari narkoba serta menanamkan nilai-nilai kebangsaan. "Saya ingin hidup saya menjadi berkat. Semua yang ada pada saya ini hanyalah titip Tuhan," kata dia.
Atas pengabdian itu, Bastian mendapatkan sejumlah penghargaan dari Polres Buru. Pada Senin (18/3/2019), Kapolda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa memberikan penghargaan kepada Bastian di Ambon.
“Penghargaan ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Tujuan saya bekerja adalah ingin berbagi kepada orang lain. Saya ingin hidup saya menjadi berkat. Semua yang ada pada saya ini hanyalah titip Tuhan,” katanya.
Royke menyampaikan selamat kepada Bastian. Institusi Polri bangga memiliki anggota seperti Bastian yang mengabdi melampaui tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota Polri.
Pengabdian Bastian harus dijadikan teladan oleh anggota Polri yang lain. Selamat bertugas, Bastian. Teruslah menebar kebaikan. Anda polisi yang bernafas guru. (Kompas/Fransikus Pati Herin)
Bastian Tuhuteru
Lahir: Hatusua 20 Juli 1987
Istri: Tasya Salelatu
Anak: Dion Tuhuteru dan Meki Tuhuteri
Pendidikan:
SD Negeri Hatusua
SMP Negeri 7 Kairatu
SMA Negeri 2 Kairatu
Jurusan Bimbingan Konseling FKIP Universitas Pattimura Ambon