TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengaju gugatan Pemilu Serentak, Effendi Ghazali mengatakan dirinya siap untuk dipidana apabila memang pihaknya yang memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi atas meninggalnya lebih dari 350 orang anggota KPPS.
"Kalau memang kami sebagai pengaju yang bertanggung jawab, kami siap, mau dipidana kek. Jangan jadi pengecut," jelas dia saat wawancara dengan Tribun, Kamis (2/5/2019).
Baca: Kisah Pengusul Pemilu Serentak: Kesedihan Effendi Ghazali Setiap Kali Ada Anggota KPPS Meninggal
Dia bahkan meminta kepada seluruh anggota keluarga KPPS yang ditinggalkan, serta kepada mahasiswa, aktivis untuk menuntut hal ini.
Kata dia, pihak yang paling bertanggung jawab harus bisa diketahui, jangan ada sampai ada pembiaran.
Juga, kepada DPR yang dinilai, jangan lepas tangan, mengingat parlemen juga memiliki tanggung jawab atas kekacauan pemilu serentak.
Alasannya jelas, Mahkamah Konstitusi tidak dapat membuat Undang-Undang.
"DPR jangan jadi pura-pura menjadi penyelamat di sini. Salah satu biang persoalan itu DPR juga. Saya disalahkan? Siap. Tapi DPR kan melakukan studi banding ke negara-negara itu, masa tidak bisa menemukan usulan?" katanya.
Saat ini, ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan perbaikan untuk pemilu berikutnya. Pertama, parlementary threshold dinaikkan sampai 10 persen.
Sehingga, partai yang tersisa hanya tiga maksimal, tetapi presidential threshold harus tetap nol persen.
"Buat apa? Supaya anak bangsa yang baik dan pintar ini tetap bisa terpilih. Partai yang masuk parlemen ini akan tersingkir dengan sendirinya," jelas dia.
Kedua, keserentakan pemilu ada di tataran di pencalonan. Sementara pelaksanaan pemilu tetap seperti dulu. Pileg dulu baru pilpres.
"Sehingga tidak ada lagi oligarki kekuasaan, oligarki partai yang bermain," urainya.
Baca: Kisah Pengusul Pemilu Serentak: 412 Petugas KPPS Meninggal, Effendi Ghazali Siap Dipidana
Berikut, kutipan wawancara khusus antara Tribun dengan Effendi Ghazali :
Tribun : Apa sebenarnya alasan anda mengajukan permohonan Pemilu Serentak?
Effendi : Pada awalnya, kami maju dengan satu tim yang sangat kuat. Ada profesor ahli juga, yaitu Saldi Isra sekarang Hakim MK, ada Irman Putera Sidin ahli hukum tata negara, ada Didik Supriyanto dari Perludem dan Hamdi Muluk dari Psikologi Politik. Ada saksi fakta, ketua adhoc MPR dulu Slamet Effendi Yusuf.