Dikutip dari historia.id, setelah mundur sebahai dokter pemerintah, Cipto hadir dalam rapat Pengurus Besar Budi Utomo di Yogyakarta pada 9 September 1909. Saat itu, di Budi Utomo Cipto masih menjabat sebagai komisaris.
Dalam rapat itu, Cipto sangat gigih menyuarakan supaya Budi Utomo menjadi organisasi politik yang memperjuangkan kebangsaan dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapapun yang ingin bergerak dalam politik kebangsaan.
Namun usunya ditolak. Dikutip dari pahlawancenter.com, pendapat Cipto itu ditentang oleh dr. Rajiman Widyodiningrat. Ternyata pemikiran revolusioner Cipto saat itu belum mendapat tempat di Budi Utomo.
Saat itu, yang terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar Budi Utomo adalah R. T. A. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, Jawa Tengah.
Nama Cipto kemudian lenyap dari organisasi itu. Jabatan sebagai Komisaris Pengurus Besar Budi Utomo ia lepas, sekaligus mundur dari keanggotaan Budi Utomo.
Lepas dari Budi Utomo, Cipto bersama Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan Indische Partij.
Saat itu, Cipto menjadi pemimpin surat kabar De Express di Bandung. Pada 19 Juli 1913, Cipto menerbitkan tulisan Suwardi yang berjudul “Andai Saya Seorang Belanda”.
Tulisan itu berisi tentang kritikan kepada Pemerintah Belanda yang merayakan 100 tahun kemerdekaan mereka atas Perancis, namun dengan cara menggalang dana di Hindia Belanda.
Dikutip dari biografipahlawan.com, hanya selang sehari Cipto menerbitkan tulisannya yang berisi dukungan untuk Suwardi. Imbasnya, ia dan Suwardi dimasukkan tahanan pada 30 Juli 1913.
Melihat dua temannya ditahan, Douwes Dekker tidak tinggal diam. Ia kemudian menerbitkan tulisan yang intinya menyatakan Cipto dan Suwardi adalah pahlawan.
Akibatnya, keadaan semakin buruk. Pada 18 Agustus 1913, tiga serangkai itu dibuang ke Belanda.
Di Belanda, Cipto bergabung dengan Indische Vereeniging, perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia di Belanda.
Karena pengaruh Cipto dan rekan-rekannya, Indische Vereeniging kemudian membuat surat kabar Hindia Poetra pada 1916. Surat kabar ini yang nantinya memberikan pemahaman kepada rakyat Belanda akan pentingnya Politik Etis.
Selama di Belanda, kesehatan Cipto menurun. Asmanya kambuh, ia juga terkena serangan syaraf. Atas dasar itu, pada 1914 akhirnya ia kembali dipulangkan ke Jawa.