Ternyata semangat perlawanannya masih tetap membara. Sepulang dari Belanda, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Cipto menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat. Tujuannya untuk melunakkan Cipto yang dianggap radikal.
Namun hal itu tidak membuahkan hasil, Cipto tetap keras dan kritis pada pemerintah. Akhirnya ia dijadikan sebagai tahanan kota.
Dikutip kembali dari historia.id, Cipto juga sempat ikut dalam pemogokan petani perkebunan di Polanharjo, Klaten, pada 1919. Akibatnya, Cipto kembali dibuang ke Banda Neira selama 14 tahun sejak 1927 karena dituduh telah melakukan sabotase.
Ia sempat diberi kesempatan untuk pulang, dengan syarat melepaskan hak politiknya. Namun Cipto menolak tegas.
Karena penyakitnya makin parah, pada 1942 Cipto dipindahkan oleh Jepang ke Jatinegara. Karena asmanya makin parah, ia dirawat di Rumah Sakit “Yang Tseng Ie”, Jakarta.
Namun nyawa dr. Cipto tidak bisa diselamatkan. Kondisinya terus memburuk hingga pada 8 Maret 1943 ia menghembuskan napas terakhirnya di Jakarta.
Cipto mendapat gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional setelah diterbitkannya Surat Keputusan Presiden RI No. 109 tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964.
Keluarga :
Ayah : Mangunkusumo
Ibu : Suratmi
Istri : Maria Vogel alias Siti Aminah
Anak : Donald Vogel, Louis Vogel dan Pestiati Pratomo
(TribunnewsWIKI/Widi)