Laporan Wartawan Tribunnews.com, Apfia Tioconny Billy
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Yohana Yembise, memastikan akan segera menindaklanjuti putusan Mahkama Konstitusi (MK) soal revisi Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 terkait dispensasi perkawinan usia anak.
Langkah tercepat yang akan dilakukan adalah membuat tim teknis dengan Kementerian Agama untuk membahas unsur-unsur perkawinan, termasuk umur yang tepat untuk pernikahan anak.
Baca: Inilah Perkembangan Anak Babe Cabita Menurut Sang Komika
“(Usia tepat perkainan anak) Itu nanti akan kami bicarakan, yang penting kita melalui jalur yang bisa kita lakukan masalah batas usia dan dispensasi akan dibahas,” ungkap Yohana di Kementerian PPA, Jakarta Pusat, Jumat (24/5/2019).
Yohana memastikan akan ada penambahan usia dari yang ditetapkan di UU saat ini yaitu berusia 16 tahun, padahal batas usia anak-anak menurut UU Perlindungan Anak yaitu 18 tahun.
Sementara itu, Yohana Yambise menginginkan batas usia anak untuk menikah adalah 21 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki.
“Akan dinaikin dong. Kalau dari UU perlindungan anak kan 18, saya pikir diantara itu bisa kita pakai jadi 21 tahun,” papar Yohana.
Yohana berharap penyelesaian UU ini dapat dilakukan pertengahan tahun ini mengingat Oktober akan ada pergantian pemerintah lagi yang dikhawatirkan proses penyelesaian akan mundur lagi.
“Tapi kita berusaha sebelum pemerintahan berakhir sudah bisa. Kalau bisa secepatnya ya secepatnya kenapa tidak. Yang penting menteri agama setuju, MK juga sudah membukakan dan mensupport tunggu apa lagi,” ujar Yohana Yembisa.
Perkawinan anak yang terlalu muda merupakan pelanggaran atas hak anak juga pelanggaran HAM terhadap anak.
Perkawinan usia anak juga harus dihentikan karena anak-anak akan rentan kehilangan hak pendidikan, kesehatan, gizi, perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan tercabut dari kebahagiaan masa anak-anak.
Anak perempuan yang kawin sebelum usia 18 tahun 4 kali lebih rentan untuk menyelesaikan pendidikan menengah, dan juga rentan kematian karena kompikasi saat kehamilan dan melahirkan.
Bayi yang lahir dari Ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari per 1,5 kali lebih besar dibandingkan Ibu berusia 20-30 tahun.
Perkawinan anak diestimasikan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7 persen dari pendapatan kotor negara(PDB).
Perempuan menikah pada usia anak lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Banyaknya pernikahan anak ini akibat adanya ketidaksetaraan gender, UU yang memperbolehkan perkawinan anak seperti yang telah disebutkan di atas, kemiskinan, adat dan budaya masyarakat, globalisasi, tradisi Setempat dan kehamilan yang tidak diinginkan.
Menurut data BPS (2018), Perkawinan usia anak masih banyak terjadi di Indonesia, dengan rentan 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun.
Baca: Kekompakan Personel TNI dan Polri saat Buka Puasa Bersama di Jalan MH Thamrin
Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak di atas angka nasional, misalnya Papua Barat yang persentasenya sama dengan angka nasional, yaitu 11,2 persen.
Sementara persentase perkawinan usia anak tertinggi di Sulawesi Barat sebesar 19,4 persen sedangkanPersentase perkawinan usia anak terendah di DKI Jakarta sebesar 4,1 persen.