TRIBUNNEWS.COM - “Pancasila Rumah Kita” seakan menjadi lagu wajib yang harus diperdengarkan saat peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni, seperti yang terjadi hari ini, Sabtu (1/5/2019), di Gedung Pancasila, Kompleks Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, yang dipimpin Presiden Joko Widodo.
Lagu yang diciptakan sekaligus dinyanyikan Franky Sahilatua (almarhum) ini pun menempati posisi puncak tangga lagu yang banyak dinyanyikan di youtube.
Namun, ada cerita menarik di balik terciptanya lagu tersebut, yakni sosok-sosok yang seakan terlupakan.
Sumaryoto Padmodiningrat (73) adalah salah satu sosok di balik terciptanya lagu “Pancasila Rumah Kita” yang seakan terlupakan itu, di samping Megawati Soekarnoputri.
Syahdan, Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan, saat itu tengah bersiap maju kembali menantang petahana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009.
Bila pada Pilpres 2004, Megawati berpasangan dengan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, pada Pilpres 2009 putri Bung Karno ini berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Dilandasi keprihatinan mendalam atas telah memudarnya nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat di satu sisi, dan di sisi lain Megawati memerlukan sarana sosialisasi, istri Taufiq Kiemas itu pun bertemu Franky Sahilatua yang kemudian menyanyikan lagu-lagu ciptaannya tentang Pancasila di depan Megawati, lalu disetujuilah lagu “Pancasila Rumah Kita” tersebut untuk direkam di samping lagu “Kembali ke Pancasila”.
“Saat itu tahun 2009 saya harus sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, tugas dari MPR RI yang saat itu diketuai Bapak Taufiq Kiemas, sekaligus untuk kampanye Pemilu 2009 di Daerah Pemilihan Jawa Tengah X (Kabupaten Pemalang, Kabupaten/Kota Pekalongan dan Kabupaten Batang). Setiap malam Minggu, selalu dipentaskan ‘Wayang Kabangsaan’ di radio-radio di Jateng,” ujar Sumaryoto Padmodiningrat di Jakarta, Sabtu (1/6/2019).
Baca: Peringati Hari Lahir Pancasila, Presiden Jokowi Beri Ucapan di Instagram: Puluhan Tahun Bertahan
Bersama Franky yang merupakan sahabat lamanya, Sumaryoto yang saat itu anggota Fraksi PDIP DPR RI mendapat tugas khusus dari fraksinya, di samping tugas dari MPR RI untuk sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan tersebut.
Sumaryoto yang saat itu menjadi Ketua Tim Kampanye Mega-Hasyim Jateng pun memilih pagelaran wayang kulit sebagai sarananya, yang kemudian ia beri nama “Wayang Kebangsaan”.
Pengusaha asal Wonogiri ini kemudian menggandeng sejumlah dalang dari Jateng seperti Jlitheng Suparman dari Solo dan Bimo Sayekti dari Pemalang.
Pementasan digelar di studio radio, tanpa wayang dan gamelan, iringan musik cukup dengan gendhing yang sudah direkam sebelumnya di compact disk (CD), sehingga kemudian disebut Wayang Radio.
"Ini untuk menyiasati biaya, karena bila peralatannya lengkap mencapi Rp 50 juta sekali pentas," cetus Sumaryoto.
Bersama Franky, mula-mula Sumaryoto keliling Jateng untuk mementaskan “Wayang Kebangsaan” dengan media radio dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya, dan kemudian berlanjut ke daerah-daerah lain seperti Lampung dan Sumatera Utara.