TRIBUNNEWS.COM - Ormas Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan 1 Syawal 1440 H jatuh pada Rabu 95/6/2019).
Keputusan itu ditetapkan berdasarkan pengamatan lembaga Falakiyah NU di sejumlah lokasi pemantauan hilal.
Berdasarkan hasil pemantauan, tim Falakiyah tidak berhasil melihat hilal.
Karena itu, Pengurus Besar NU (PBNU) menetapkan 1 Syawal jatuh pada Rabu 5 Juni 2019.
Baca: Sidang Isbat 1 Syawal 1440H, Pakar Astronomi Tim Falakiyah Kemenag Beberkan Posisi Hilal
Keputuusan itu ditaungkan dalam surat pemberitahuan hasil rukyat yang ditujukan kepada seluruh pengurus NU Wilayah dan Cabang di seluruh Indonesia.
Surat tersebut dipublikasikan di akun twitter NU, @nahdlatululama, Senin (3/6/2019).
Penetapan 1 Syawal oleh NU ini sejalan dengan penetapan 1 Syawal oleh Muhammadiyah.
Sebelumnya, Muhammadiyah yang menetapkan 1 Syawal jatuh pada 5 Juni 2019 berdasarkan metode hisab.
Sementara, saat ini pemerintah masih melangsungkan sidang isbat untuk menetapkan 1 Syawal.
Sidang Isbat 1 Syawal 1440H, Pakar Astronomi Tim Falakiyah Kemenag Beberkan Posisi Hilal
Kementerian Agama (Kemenag) saat ini tengah menggelar Sidang Isbat Penentuan 1 Syawal 1440 H/2019, Senin (3/6/2019).
Saat berita ini ditulis, Sidang Isbat masih berlangsung.
Salah satu pemaparan dalam Sidang Isbat adalah pemaparan dari Pakar astronomi dari Tim Falakiyah Kementerian Agama Cecep Nurwendaya.
Dikutip dari laman resmi Kemenang, Kemenag.go.id, Cecep menegaskan bahwa tidak ada referensi empirik visibilitas (ketampakan) hilal awal Syawal 1440H bisa teramati di seluruh wilayah Indonesia pada hari Senin (03/06) ini.
Baca: Pantau LIVE Streaming Sidang Isbat 1 Syawal, Lengkap dengan Link TV & Daftar Lokasi Rukyatul Hilal
“Semua wilayah Indonesia memiliki ketinggian hilal negatif. Hilal terbenam terlebih dahulu dibanding matahari,” terang Cecep saat memaparkan data posisi hilal menjelang awal bulan Syawal 1440H/2019M pada Sidang Isbat Awal Syawal 1440H, di Jakarta.
Baca: Prakiraan Cuaca Pengamatan Hilal 1 Syawal 1440 H di 26 Kota, Sidang Isbat Digelar Pukul 17.00 WIB
Hadir dalam pemaparan jelang sidang isbat, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Ketua MUI, dan Ketua Komisi VIII Ali Taher.
Hadir juga dalam kesempatan ini para duta besar negara sahabat, pimpinan ormas termasuk NU dan Muhammadiyah, pakar astronomi dari LAPAN dan Planetarium Boscha, serta para pejabat Eselon I dan II Kementerian Agama.
Menurut Cecep, penetapan awal bulan hijriyah didasarkan pada hisab dan rukyat.
Proses hisab sudah ada dan dilakukan oleh hampir semua ormas Islam.
“Saat ini, kita sedang melakukan proses rukyat, dan sedang menunggu hasilnya,” terang Cecep.
“Secara hisab, awal Syawal 1440 H jatuh pada hari Rabu. Ini informasi, konfirmasinya menunggu hasil sidang isbat, menunggu hasil laporan rukyat,” tambahnya.
Dikatakan Cecep, rukyat adalah observasi astronomis.
Karena itu, lanjut Cecep, harus ada referensinya.
Cecep mengatakan bahwa kalau ada referensinya diterima, sedang kalau tidak berarti tidak bisa dipakai.
Lantas bagaimana posisi hilal awal Syawal 1440H?
Berdasarkan data di Pelabuhan Ratu, posisi hilal awal Syawal 1440H atau pada 29 Ramadan 1440H yang bertepatan dengan 3 Juni 2019, di Pelabuhan Ratu secara astronomis tinggi hilal: minus 0,56 derajat; jarak busur bulan dari matahari: 2,94 derajat; umur minus 40 menit 6 detik.
Pelabuhan Ratu termasuk paling tinggi.
Baca: Kemungkinan Hilal Tak Terlihat, PWNU Jatim Prediksi 1 Syawal Jatuh Pada Rabu 5 Juni 2019 Mendatang
Ijtimak di Pelabuhan Ratu terjadi sebelum matahari terbenam (qobla ghurub).
"Bulan terbenam dalam waktu 3 menit 6 detik sebelum matahari terbenam," kata Cecep.
Sementara itu, lanjut Cecep, dasar kriteria imkanurrukyat yang disepakati MABIMS adalah minimal dua derajat atau umur bulan minimal delapan jam.
"Ini sudah menjadi kesepakatan MABIMS," tuturnya.
Sehubungan itu, kata Cecep, karena ketinggian hilal di bawah dua derajat bahkan minus, maka tidak ada referensi pelaporan hilal jika hilal awal Syawal teramati di wilayah Indonesia.
“Dari referensi yang ada, maka tidak ada referensi apapun bahwa hilal Syawal 1440H pada Senin ini teramati di seluruh Indonesia,” tandas Cecep.
Selain itu, lanjut Cecep, juga tidak ada referensi empirik visibilitas hilal jika hilal awal Syawal teramati di wilayah Indonesia.
Menurut Cecep, Limit Danjon menyebutkan bahwa hilal akan tampak jika jarak sudut bulan – matahari lebih besar dari 7 derajat.
Konferensi penyatuan awal bulan Hijriyah International di Istambul tahun 1978 mengatakan bahwa awal bulan dimulai jika jarak busur antara bulan dan matahari lebih besar dari 8 derajat dan tinggi bulan dari ufuk pada saat matahari tenggelam lebih besar dari 5 derajat.
Sementara rekor pengamatan bulan sabit dalam catatan astronomi modern adalah hilal awal Ramadan 1427H di mana umur hilal 13 jam 15 menit dan berhasil dipotret dengan teleskop dan kamera CCD di Jerman.
Bahkan, dalam catatan astronomi modern, jarak hilal terdekat yang pernah terlihat adalah sekitar 8 derajat dengan umur hilal 13 jam 28 menit. Hilal ini berhasil diamati oleh Robert Victor di Amerika Serikat pada 5 Mei 1989 dengan menggunakan alat bantu binokulair atau keker.
(Tribunnews.com/Daryono)