Terbukti, kinerja keuangan semua maskapai domestik sejak 2017 lalu memang cenderung memburuk.
Garuda Indonesia, misalnya, hingga akhir kuartal III 2017 mencatatkan kerugian US$110,2 juta.
Selain Garuda, Air Asia Indonesia juga mengalami kinerja keuangan serupa.
Pada kuartal III 2018, Air Asia menderita kerugian Rp639,16 miliar, atau membengkak 45 persen year on year (yoy).
Saat ini angkanya, menurut Kementerian Perhubungan, bahkan telah mencapai Rp1 triliun.
Tahun ini juga tak ada satupun maskapai yang mencatatkan keuntungan.
"Jadi, tertekannya maskapai penerbangan kita sebenarnya juga disumbang oleh kegagalan Pemerintah memperbaiki indikator-indikator ekonomi makro,"katanya.
Selain itu, meskipun pemerintah terus jorjoran membangun bandara, rute serta frekuensi penerbangan juga bertambah, ditambah maskapai menambah jumlah pesawat, penumpang dan barang yang diangkut relatif stagnan.
Jika dibandingkan dengan ketersediaan produksi, misalnya, maka sejak 2014 telah terjadi penurunan jumlah penumpang yang diangkut dari sebelumnya sebesar 82,33% (2014) menjadi tinggal 77,56% (2017).
Artinya menurut Fadli, selama ini pembangunan infrastruktur bandara, pembukaan izin rute baru, serta pemberian izin penambahan armada tidak pernah memperhatikan jumlah penumpang dan kebutuhan riil masyarakat, sehingga terjadi ‘oversupply’ yang membuat industri penerbangan kita tak efisien.
"Jadi, kembali lagi pada isu Presiden yang ingin mengundang maskapai asing untuk menekan harga tiket, saya kira ide itu ‘misleading’," katanya.
Ia menyarankan kepada pemerintah untuk membuat diagnosa yang benar, atas masalah mahalnya tiket pesawat, agar solusi untuk mengobati industri penerbangan kita tepat.
"Isu penerbangan ini sebaiknya tidak dilihat hanya dengan kacamata konsumerisme, yaitu bagaimana menyediakan tiket murah untuk konsumen, tapi juga harus memperhatikan aspek kedaulatan dan geostrategis pertahanan keamanan," ucapnya.
Berpotensi tabrak aturan