Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Jokowi menyinggung soal jatah menteri untuk aktivis reformasi tahun 1998.
Hal tersebut diungkapkan Jokowi ketika memberikan sambutan dalam acara Halal bi Halal dengan sejumlah aktivis 1998 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (16/6/2019).
Menurut Jokowi, jatah tersebut bakal diberikan mengingat pasca-reformasi aktivis 98 belum pernah ada yang menjabat sebagai menteri.
Baca: Respons Ketua Komisi III DPR RI Sikapi Kunjungan Pansel Capim KPK ke Institusi Polri
Baca: Kronologi Crash MotoGP Catalunya 2019 Versi Jorge Lorenzo yang Jadi Biang Keladi Insiden
Baca: Sejumlah Kecelakaan di Tol Cipali Selama Tahun 2019, Dipicu Sopir Mengantuk Hingga Tabrakan Beruntun
"Sebagian besar sudah ada yang menjabat bupati, di DPR, Wali Kota atau jabatan yang lain. Namun saya juga dengar ada yang belum, saya lihat di menteri belum," ujar Jokowi.
Mendengar itu, peserta acara meneriakkan nama politikus PDIP Adian Napitupulu yang ada satu panggung dengan Jokowi.
Jokowi tidak menggubris seruan peserta.
Dia juga menolak menyebut inisial aktivis 98 yang dinilai pantas menjadi menteri.
Merespon itu, Menko Polhukam Wiranto mengatakan soal posisi menteri itu sepenuhnya menjadi hak prerogratif presiden.
"Loh kok tanya saya. Itu sepenuhnya hak prerogratif presiden. Tidak usah diributkan dan masih lama juga, masih Oktober. Tergantung presiden bagaimana beliau sudah mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang beliau lakuka. Saya kirabeliau sudah punya rencana untuk itu, tidak perlu kita ributkan dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun," tutur Wiranto, Senin (17/6/2019) di kantor Kemenko Polhukam.
Dalam acara tersebut, Jokowi turut menyampaikan syarat yang dibutuhkan aktivis 98 menjadi pemimpin yakni memiliki keberanian dalam mengeksekusi sebuah keputusan dalam kondisi apapun.
Jokowi menambahkan aktivis 98 merupakan pelaku sejarah.
Dia mengatakan semua pihak harus berani mengevaluasi segala hal yang sudah dan akan dikerjakan oleh pemerintah.
Bisa jadi kunci penyelesaian kasus pelanggaran HAM
Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti meyakini masuknya para aktivis 98 dalam pemerintahan bisa jadi kunci untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM 98.
Sebab, Ray Rangkuti menilai, para aktivis 98 yang masuk pemerintahan punya tanggung jawab yang besar.
Hal itu disampaikan Ray Rangkuti saat diskusi 'Sudah Siapkah 98 Menjaga Pemerintahan dan Demokrasi Dari Dalam' di Kopi Bang Pred, Gedung Graha Pena 98, Kemang, Jakarta Selatan, Jumat (3/5/2019).
"Ada tanggung jawab lebih terhadap kawan-kawan 98 ini, bukan hanya tanggung jawab bahwa kejahatan kemanusiaan, tapi salah satunya adalah yang menjadi konsen anak 98 adalah mereka di depan mereka, teman mereka korban-korban dari peristiwa 98 itu," ucap Ray Rangkuti.
Ray Rangkuti juga mengatakan, aktivis 98 merupakan saksi sejarah peristiwa berdarah yang terjadi pada masa reformasi 98.
Baca: Pasangan Bukan Suami Istri Kepergok Petugas Berada Dalam Satu Kamar
Baca: Kisah Pilu Pemulung Sebatang Kara, Rumahnya Hangus Terbakar, Uang Tabungan untuk Umroh Ikut Hangus
Baca: LPSK Siap Berikan Perlindungan Kepada Semua Pihak Terkait dalam Sidang Sengketa Pilpres 2019
Untuk itu, mereka disebut Ray Rangkuti, punya pandangan segar soal bagaimana menyelesaikan kasus HAM.
"itu menjadi beban moral mereka yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tak pernah tahu sejarah reformasi 98," kata Ray Rangkuti.
Selain itu, masuknya aktivis 98 dalam pemerintahan bisa jadi memecahkan mitos bahwa politik moral bisa berbuat untuk rakyat.
Diketahui, selama ini aktivis 98 tak ada yang terjun ke pemerintahan karena terbentur politik moral dimana para aktivis yang mengkritisi pemerintah ujung-ujungnya untuk minta kekuasaan.
"Saya kira pengertian politik moral itu perlu di revisi ulang, bahwa yang dinamakan politik moral itu adalah seluruh aktivis dengan menggunakan kekuasaan sebesar besarnya bagi kepentingan publik," kata Ray Rangkuti.