Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Agum Gumelar meminta kepada institusi TNI segera meluruskan 3 persen prajuritnya yang diduga terpapar paham radikalisme.
"Saya rasa tugas dari TNI adalah meluruskan mereka," kata Agum Gumelar usai menghadiri acara Halal Bihalal dengan Purnawirawan TNI di The Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Jumat (21/6/2019).
Agum meyakini, dengan cara-cara persuasif, TNI akan mampu mengembalikan paham para prajutitnya untuk kembali ke sapta marga dan sumpah prajurit.
"Tinggal kita bagaimana buka komunikasi untuk segera yang bengkok-bengkok ini kita luruskan secara persuasif. Saya yakin jika kita kembali ke jiwa sapta marga dan sumpah prajurit, yang bengkok tadi akan lurus kembali," ucap Agum.
Agum mengungkapkan kemungkinan terpaparnya paham radikal sejumlah anggota TNI dikarenakan saat ini pemerintah sedang bertekad untuk menghapuskan paham radikal di Indonesia.
Baca: Deddy Corbuzier Laksanakan Salat Magrib di Kediaman KH Maruf Amin
Baca: Sebut MK Bisa Langsung Putuskan Hasil Sidang Pilpres, Mahfud MD: Enggak Ada yang Bisa Dibuktikan
Baca: KPK Segera Sita Aset Bos Gajah Tunggal Sjamsul Nursalim Terkait Kasus BLBI
Baca: Jaringan Pujasera UMKM dengan Lokasi Terbanyak, GO-FOOD Festival Masuk Rekor MURI
Lalu, sejumlah pihak menekanan agar TNI bersikap netral dan tidak boleh berpihak.
Namun, kata Agum, hal itu disalah artikan oleh sejumlah anggota TNI.
"TNI harus netral, tak boleh memihak, katanya begitu. Saya bilang, itu keliru besar. Kalau NKRI dan Pancasila menghadapi ancaman, kita semua tak bisa bersikap netral, kita semua harus membela NKRI. Membela Pancasila. Tak bisa netral. Itu ancaman buat negara," ucap Agum.
Penjelasan Menhan
Kalangan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai didapati terpapar paham radikalisme.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu lalu mengaku prihatin terhadap dengan sekelompok tertentu yang ingin mengganti ideologi negara Pancasila dengan ideologi khilafah negara Islam.
Data Kementerian Pertahanan (Kemhan), sebanyak sekitar tiga persen anggota TNI yang sudah terpapar paham radikalisme dan tidak setuju dengan ideologi negara, Pancasila.
"Kurang lebih 3 persen, ada TNI yang terpengaruh radikalisme," ujar Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu dalam sambutan pada acara halalbihalal Mabes TNI yang dilangsungkan di GOR Ahmad Yani Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (19/6/2019).
"Saya sangat prihatin, dengan hasil pengamatan yang dilakukan Kementerian Pertahanan baru-baru ini, tentang Pancasila. Pancasila itu kan perekat negara kesatuan ini. Rusaknya Pancasila, rusaknya persatuan kita. Hilangnya Pancasila, berarti hilangnga negara ini," kata Ryamizard.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini pun mengungkapkan alasannya menyampaikan keprihatinan di tengah-tengah berkumpulnya para anggota TNI aktif dan para purnawirawan.
Ia pun berharap kehadiran para purnawirawan TNI dapat membantu mengurangi atau bahkan mengentaskan hal yang dianggapnya berbahaya itu.
"Mumpung kita berkumpul, ada sesepuh (purnawirawan), bersama-sama bagaimana mengatasi Indonesia terhindar dari hal yang tidak diinginkan," ucapnya.
Ryamizard yang adalah menantu mantan Wakil Presiden Try Sutrisno meminta agar anggota TNI yang terpapar paham radikalisme kembali mengingat dan berpegang pada sumpah prajurit.
"Kita mengimbau supaya mereka menepati sumpah prajurit, menyatakan setia kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila. Sumpah, tidak boleh main-main dengan sumpah," ucapnya.
Selain prajurit TNI yang tidak setuju dengan Pancasila, sebanyak 23,4 persen mahasiswa setuju dengan negara Islam/ khilafah, lalu ada 23,3 persen pelajar SMA.
"Sebanyak 18,1 persen pegawai swasta menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila, kemudian 19,4 persen PNS menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila, dan 19,1 persen pegawai BUMN tidak setuju dengan Pancasila," ujarnya.
Ryamizard berharap agar momen halal bihalal dapat kembali mempersatukan bangsa Indonesia.
"Mari kita jaga persatuan bangsa, karena ini adalah satu tugas pokok TNI, termasuk purnawirawan. Kenapa purnawirawan juga? Karena purnawirawan ini tidak terlepas dari sumpah, tetap ada sampai mati," ucapnya.
Pada bagian lain, Ryamizard mengatakan, belum memikirkan rencana program wajib militer.
Cara membela negara tidak perlu dengan program wajib militer, tetapi meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila jauh lebih penting.
"Ya kalau kita wajib militer tapi ini (Pancasila) nggak di sini (sambil nunjuk kepala) itu bahaya. Jadi benak kita harus Pancasila, nggak boleh berubah. Yang nggak suka Pancasila saya bilang dari dulu keluar dari negara ini," kata Ryamizard saat ditemui wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/6/2019).
Ryamizard mengatakan, siapa saja boleh mengusulkan apa pun untuk keamanan negara. Namun, ia mengatakan saat ini Menhan masih mengembangkan program Bela Negara.
"Bela Negara penting, itu adalah ujung-ujungnya adalah intinya Pancasila," ujarnya.
Program Wajib Militer
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengusulkan pembentukan program wajib militer kepada Kementerian Pertahanan (Kemhan).
"Jadi kami mengusulkan agar kita mulai menerapkan wajib militer sebagaimana semua negara maju yang ada di dunia," kata anggota BPK, Agung Firman Sampurna, seusai menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan Kemhan tahun 2018 oleh BPK di Kantor Kemhan, Jakarta, Senin.
Menurut Agung, selain berperan dalam operasi militer perang, latihan, persiapan, dan pengadaan alutsista dan sebagainya, Kemhan perlu menerapkan program wajib militer seperti yang dilakukan oleh semua negara maju di dunia.
Ia menilai program wajib militer adalah salah satu upaya untuk meningkatkan pendidikan bela negara dan menjadikan Indonesia menjadi negara yang kuat.
"Sudah waktunya bagi kita meningkatkan program pendidikan bela negara kita menjadi lebih terstruktur yang lebih sistematis dan lebih masif yaitu dengan wajib militer," kata Agung.
Sebelumnya, Ryamizard Ryacudu menegaskan, sebagai bentuk penguatan jati diri mahasiswa, pemerintah harus terus menumbuhkan rasa bela negara di linkungan perguruan tinggi.
"Bela negara harus dilaksanakan di perguruan tinggi dan dievaluasi dalam rangka penguatan jati diri mahasiswa baru yang sedang mencari identitas atau jati dirinya,” kata Ryamizard saat membuka Rapat Koordinasi dan Evaluasi Pelaksanaan Bela Negara di Perguruan Tinggi, Maret lalu di kantor Kemhan, Jakarta.
Baca: Kisah Pilu Kevin Aprilio Pernah Bangkrut dan Punya Utang 17 Miliar hingga Nyaris Bunuh Diri
Menhan menambahkan, kesadaran bela negara tidaklah dibawa sejak lahir, tetapi perlu ditumbuhkan secara terus-menerus.
Karena itu, pembinaan bela begara adalah upaya tanpa henti untuk menyesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman.
Oleh sebab itu, program bela negara harus dimasukan ke dalam kurikulum agar penerapannya efektif.
Apalagi, kurikulum bela negara dinilai terbukti menjadi salah satu upaya untuk mencegah pengaruh negatif yang memengaruhi mahasiswa, seperti terorisme, paham radikal, dan narkotika.
Sebagai langkah awal, ketika masa orientasi mahasiswa, materi bela negara bisa dimasukkan empat hari di kelas.
Setelah itu baru pemberian pemahaman bela negara lebih lanjut.
"Di dalamnya bisa disampaikan tujuan dari tindakan teroris itu apa, untuk menekan paham radikal itu bagaimana. Lalu bagaimana hukumnya kalau orang Indonesia tapi tidak mengakui Pancasila," ujar Ryamizard. (Tribun Network/git/kompas.com.dtc)