Namun BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut.
BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.
Untuk menyelesaikan persoalan hukum tersebut, BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
Baca: Gerindra Ajukan Pemulangan Habib Rizieq Sebagai Syarat Rekonsolisasi, Begini Respon TKN
BDNI yang mengikuti MSAA itu menjaminkan aset berupa piutang petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Utang itu ternyata dijamin oleh dua perusahaan yang juga milik Sjamsul, PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
Sjamsul menjaminkan hal tersebut sebagai piutang lancar, namun belakangan diketahui bahwa piutang itu merupakan kredit macet.
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan Sjamsul Nursalim. Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp220 miliar.
Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp4,58 triliun belum dibayarkan.
Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
Perbuatan Syafruddin dinilai membuat Sjamsul mendapat keuntungan sebesar Rp4,58 triliun. Hal tersebut yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.