TRIBUNNEWS.CON, JAKARTA - Berbagai masalah yang menimpa industri plastik akhir-akhir ini sangat kompleks.
Hal itu terlihat dari adanya pelarangan penggunaan plastik kemasan di sejumlah kementerian dan daerah, hingga adanya rencana penerapan cukai terhadap produk berbahan baku plastik.
Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri, Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin, Taufik Bawazier menyebut politik industri plastik sangat luar biasa.
“Jadi, di dalam sistem industri plastik ini banyak stakeholder yang terlibat di dalamnya, mulai dari hulunya atau produsennya, dari hilirnya, dari LSM. Asosiasi, pemerintah pusat dan daerah. Sebagian melihat plastik dari sisi positifnya dan sebagian lagi sisi negatifnya,” ujarnya di acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Pengembangan Industri Plastik Dengan Berorientasi Pada Lingkungan” yang digelar di Gedung Kemenperin belum lama ini.
Menurut Taufik, keseimbangan terhadap para stakeholder itu perlu ditegakkan dalam konteks pembangunan nasional.
Kata Taufik, secara proporsi, potret nasional sampah yang diklaim sebanyak 68 juta ton, itu hanya mencapasi 15% sampah plastiknya, artinya, ada 85% dari sampah nasional itu yang bukan sampah plastik.
Baca: Gara-gara menelan kantong plastik, sembilan rusa mati di taman nasional Jepang
”Tapi yang sering menjadi sorotan dari semua media selama ini adalah opini yang berkembang bahwa plastik adalah sumber masalah. Padahal yang ada juga sebagian yang optimis plastik itu juga ekonomi sirkular yang membangkitkan export oriented yang menciptakan lapangan kerja dan juga meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah),” ucap Taufik.
Karenanya, menurut Taufik, yang justru perlu dilakukan adalah meningkatkan recycle rate bahan baku plastik yang ada selama ini.
“Problem-problem single use plastik, multi layer plastiknya bisa ditempuh dengan teknologi,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI), Christine Halim, mengatakan bahan-bahan plastik yang digunakan saat ini di Indonesia mayoritas masih impor.
“Kami dari recycle berlomba-lomba untuk mencari teknologi tepat guna agar bisa memenuhi kebutuhan nasional itu. Artinya, kue perdagangan dan industri plastik di Indonesia masih sangat besar. Jadi, sektor industri plastik ini penting karena memiliki keterkaitan dengan industri lain,” tuturnya.
Dia menegaskan bahwa meskipun sampah plastik tidak bisa diurai di dalam tanah, tapi bisa digunakan kembali dan memiliki nilai ekonomi yang paling cepat, utamanya bagi para pemulung.
Sampah plastik pada saat didaur ulang akan mempunyai nilai ekonomi yang bisa menyerap banyak tenaga kerja dan dapat keuntungan.
“Yang penting, unsur recyclability-nya harus diperhatikan,” ucapnya.
Baca: Sikap V BTS Tuai Perhatian Penggemar, Pungut Sampah Plastik hingga Bicara Ramah dengan Pegawai Mal
Populasi sebanyak 600 industri besar dan 700 industri kecil di industri daur ulang investasinya mencapai Rp 5,15 triliun.
Mereka tersebar di Jawa sebanyak 85% dan luar Jawa 15%, dengan kapasitas produksi sebesar 2 juta ton.
Industri ini menyerap 3,36 tenaga kerja langsung dan tidak langsung, termasuk para pemulung dan pengepul.
Dia mencontohkan anggota ADUPI di Desa Trosobo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang sukses mendaur ulang plastik kemasan sachet menjadi talang air dan tali rafia.
“Tapi, ini kan butuh support dari pemerintah juga untuk pemasaran produk daur ulangnya,” ujarnya.
Edi Rivai, Ketua Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (INAPLAS), mengutarakan bahwa konsumsi plastik di Indonesia masih jauh lebih rendah disbanding negara lain.
Artinya, treatment yang dilakukan terhadap sampah plastiknya juga harus berbeda.
“Jadi masih banyak peluang-peluang yang bisa kita kembangkan di Indonesia dengan menggunakan material plastik ini,” ujarnya.
Menurut Edi, yang menjadi masalah selama ini adalah pengumpulan sampah plastik yang tidak sempurna.
“Regulasi kita tidak memperbaiki waste management. Aturan sudah banyak, tapi enforcement-nya kurang,” katanya.
Anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Rachmat Hidayat, menyayangkan adanya pelarangan penggunaan plastik kemasan di beberapa kementerian dan daerah.
Menururtnya, sebenarnya dasar hukum yang terkait pengelolaan sampah sudah lengkap dan sudah merinci tanggung jawab masing-masing stake holder.
“Cuma yang kita bingung, kok yang dibidik itu hanya satu stake holder saja, yaitu pelaku usaha. Miris, ini seperti penyakit menular, kantor-kantor pemerintah melarang produk-produk yang menggunakan plastik,” ucapnya.
Menurut Rachmat, problem sebenarnya adalah sampah bertebaran di mana-mana sampai ke laut yang berarti orang buang sampah sembarangan.
"Mestinya, kalau itu masalahnya, yang harus dibenahi kan masyarakat yang buang sampahnya, bukan pelarangan penggunaannya,” ucapnya.