Sebab, dua tersangka ini merupakan pengembangan dari penyidikan perkara Syafruddin.
Dalam kasus ini, Sjamsul dan Itjih diduga KPK melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sekitar Rp4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp4,58 triliun.
Alasannya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 Miliar.
Kecewa
Advokat Senior Maqdir Ismail merasa heran dan kecewa mendengar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan terus melanjutkan proses hukum terhadap Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih Nursalim (IN) dengan dalih bahwa peran suami-istri itu berbeda dengan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).
“Sangat mengecewakan mendengar KPK akan terus melanjutkan proses hukum terhadap SN dan IN. Saat ini KPK berbalik mengklaim bahwa peran dan perbuatan SN dan IN berbeda dengan SAT," kata Maqdir Ismail kepada wartawan Senin petang.
Maqdir mengingatkan bahwa sebelum Majelis Hakim Mahkamah Agung mengeluarkan putusannya (Selasa 9 Juli), KPK mengklaim bahwa SAT, SN dan IN melakukan perbuatan secara bersama, sebagaimana dinyatakan dalam surat dakwaan.
Bahkan dalam surat panggilan terhadap para saksi dalam penyidikan perkara SN dan IN, ditegaskan panggilan terhadap para saksi atas perkara pidana yang dilakukan SN dan IN bersama-sama dengan SAT. KPK bahkan kembali menyatakan hal ini pada konferensi persnya pada tanggal 10 Juni 2019.
Baca: Di Hadapan Santri Ponpes Lirboyo, Hotman Paris Beberkan Kasus Ikan Asin dan Beri Warning Penting ini
Baca: Hotman Paris Ajak Penyanyi Dangdut Ini Dansa di Pantai Bali
Baca: Tata Cara Salat Gerhana atau Salat Khusuf, Gerhana Bulan Sebagian Terjadi Rabu Dini Hari
"Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan bahwa perbuatan SAT bukanlah perbuatan pidana. Saya bersama dengan banyak warga Indonesia, seperti juga yang sudah diutarakan Bapak Wakil Presiden, meminta KPK untuk konsisten dalam tindakannya dan menghormati putusan pengadilan".
Perkara ini, katanya, bukan hanya menjadi perhatian masyarakat di Indonesia. Tapi komunitas investor internasional juga terus memantau perkembangan kasus ini.
"Jika tidak ada kepastian hukum dan tidak ada penghormatan pada putusan pengadilan, maka warganegara Indonesia tidak akan mendapatkan perlindungan hukum."