Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang, Bartholomeus Toto (BTO) sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Penetapan Bartholomeus merupakan pengembangan dalam perkara kasus suap yang menjeran mantan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin.
Sebelumnya KPK telah terlebih dahulu menetapkan 9 orang sebagai tersangka dari unsur Kepala Daerah, Pejabat di Pemkab Bekasi, dan pihak swasta.
Sembilan orang tersangka itu pun telah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat.
Untuk konstruksi perkaranya, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menjelaskan bahwa PT Lippo Cikarang berencana membangun kawasan permukiman di wilayah Kabupaten Bekasi dengan luas sekitar 438 Hektar yang akan dilaksanakan dalam 3 tahap.
Baca: KKP Diminta Turun Tangan Amati Kerusakan Laut Akibat Pencemaran Minyak Pertamina di Karawang
Baca: Barbie Kumalasari Sebut Galih Ginanjar Was-was Tak Bisa Awasi Istri Saat Syuting
Baca: Ammar Zoni Sebut Irish Bella Bandel karena Tak Mau Berhenti Akting
Baca: PTUN Batalkan SK soal Pembatalan Izin Reklamasi Pulau H Teluk Jakarta, Anies Beri Sinyal Perlawanan
Diketahui, sebelum pembangunan tahap 1 dengan luas 143 hektar dilakukan, diperlukan perizinan seperti, Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT), Izin Prinsip Penanaman modal dalam negeri, dan Izin Lingkungan serta izin mendirikan bangunan (IMB).
Kemudian, untuk mengurus IPPT pembangunan Meikarta tersebut, PT Lippo Karawaci, Tbk menugaskan eks Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro (telah diproses dalam kasus terpisah), Bartholomeus, serta Henry Jasmen, Taryuci dan Fitra Djaja Purnama (telah diproses pada kasus terpisah) dan pihak pegawai PT Lippo Cikarang lainnya.
"Mereka melakukan pendekatan kepada Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin, melalui orang dekatnya dengan cara melakukan beberapa pertemuan," jelas Saut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Saut melanjutkan, PT Lippo Cikarang kemudian mengajukan IPPT seluas 143 Ha.
Setelah itu, pihak yang mewakili PT Lippo Cikarang melalui orang dekat bupati, meminta bertemu Bupati Neneng.
"Pada April 2017, pihak yang mewakili PT Lippo Cikarang bertemu dengan Bupati Neneng di rumah pribadinya dan menyampaikan 'mohon bisa dibantu'. Neneng menyanggupi dan meminta pihak PT Lippo Cikarang berkomunikasi dengan orang dekatnya," terang Saut.
Dalam mengurus IPPT, ujar Saut, Bartholomeus mendapat pesan bahwa Bupati Neneng agar izin diajukan secara bertahap.
Bartholomeus kemudian menyanggupi dan menjanjikan uang untuk pengurusan izin tersebut.
Lalu pada Mei 2017, Bupati Neneng menandatangani Keputusan Bupati tentang IPPT dengan luas ±846.356 m2 untuk pembangunan komersial area, seperti apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, sekolah, hotel, perumahan dan perkantoran kepada PT Lippo Cikarang.
Untuk merealisasikan janji pemberian suap sebelumnya, imbuh Saut, atas persetujuan Bartholomeus, pegawai PT Lippo Cikarang pada divisi land acquisition and permit mengambil uang dari pihak PT Lippo Cikarang dan Bartholomeus di helipad PT Lippo Cikarang dengan jumlah total Rp10,5 miliar.
"Setelah itu, uang diberikan pada Bupati Neneng melalui orang kepercayaannya dalam beberapa tahap. Tersangka BTO diduga menyetujui setidaknya 5 kali pemberian tersebut kepada Bupati Neneng, baik dalam bentuk dolar Amerika dan rupiah dengan total Rp10,5 miliar," kata Saut.
Atas perbuatannya, Bartholomeus melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Minta Rp 1 miliar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, meminta uang senilai Rp 1 miliar kepada Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili.
Permintaan uang tersebut dilakukan terkait pengurusan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
RDTR itu menjadi bagian penting untuk mengurus proyek pembangunan proyek Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Awalnya, pada 2017 Neneng Rahmi menerima sejumlah uang terkait dengan pengurusan RDTR Kabupaten Bekasi yang kemudian diberikan kepada beberapa pihak dengan tujuan memperlancar proses pembahasannya.
"Sekitar Bulan April 2017, setelah masuk pengajuan Rancangan Perda RDTR, Neneng Rahmi Nurlaili diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR untuk bertemu pimpinan DPRD di Kantor DPRD Kabupaten Bekasi. Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari Pimpinan DPRD terkait pengurusan tersebut," ucap Wakil Ketua KPK, Saut Situmotang, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Saut mengatakan setelah disetujui DPRD, rancangan Perda RDTR Kabupaten Bekasi Bekasi kemudian dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dilakukan pembahasan.
Baca: KPK Tetapkan Sekda Jabar dan Eks Presdir Lippo Cikarang Sebagai Tersangka Suap Izin Proyek Meikarta
Baca: 6 FAKTA Pria Mati Hidup Lagi di Sampang, Penyebab Bangkit Kembali hingga Kuburan Sudah Digali
Baca: Soal FPI, Menhan: Jika Tak Taat Pancasila, Silakan Pergi
Baca: Keliling Korea Selatan Lebih Praktis Naik Kereta, Cek Rute dan Jenisnya
Namun, Raperda itu tidak segera dibahas oleh kelompok kerja (Pokja) Badan Koordinasi Penataan ruang Daerah (BKPRD) padahal dokumen pendukung sudah diberikan.
Untuk memproses RDTR itu, Neneng Rahmi harus bertemu dengan Sekda Jabar, Iwa Karniwa.
"Neneng Rahmi kemudian mendapatkan Informasi bahwa tersangka IWK (Iwa Karniwa) meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di Provinsi," kata Saut.
Saut menyatakan permintaan tersebut diteruskan kepada salah satu karyawan PT Lippo Cikarang dan direspons bahwa uang akan disiapkan.
Beberapa waktu kemudian, pihak Lippo menyerahkan uang kepada Neneng Rahmi.
"Kemudian, sekitar Desember 2017 dalam dua tahap, Neneng Rahmi melalui perantara menyerahkan uang pada tersangka IWK dengan total Rp 900 juta terkait dengan pengurusan RDTR di Provinsi Jawa Barat," tutur Saut.
Atas perbuatannya KPK menetapkan Iwa Karniwa sebagai tersangka suap suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
Ia disangkakan melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ditetapkan sebagai tersangka
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, sebagai tersangka kasus suap terkait perizinan proyek pembangunan Meikarta.
"Pada dua perkara sebagaimana dijelaskan di atas, sejak 10 Juli 2019 KPK melakukan penyidikan dengan dua orang sebagai tersangka yaitu IK dan BTO," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Iwa ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
Baca: Sikapi Tudingan IPW Soal Banyak KKN, Febri Diansyah: Itu Isu Daur Ulang Untuk Menyerang KPK
Baca: Peran Perempuan Dibutuhkan KPK Sebagai Pucuk Pimpinan
Baca: PAN Setuju Imbauan Moral KPK Agar Parpol tak Calonkan Mantan Koruptor
Baca: Warga Tapanuli Utara Heboh Sambut Kedatangan Jokowi
Sementara Bortholomeus yang tercatat sebagai mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang jadi tersangka dalam perkara dugaan suap terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Saut mengatakan Iwa diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara tersangka Bortholomeus melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2-001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan pasal 55 ayat (`1) ke-1 KUHP.
Iwa Karniwa sebelumnya telah memberi kesaksian dalam kasus suap Meikarta yang menyeret Bupati Neneng.
Jaksa di persidangan mempertanyakan soal pertemuannya dengan Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili, di KM 72 tol Purbaleunyi pada Desember 2017.
Baca: BREAKING NEWS: Warga Kloangpopot, Sikka Geger, Mayat Korban Pembunuhan Tergeletak di Jalan
Baca: Rekrutmen Pegawai Universitas Diponegoro Non ASN, Posisi Dosen Program Studi di Luar Kampus Utama
Iwa pun membenarkan pertemuan tersebut. Namun dia diminta oleh anggota DPRD Jabar asal Partai Demokrarasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Waras Wasisto, untuk datang, dan akhirnya dikenalkan dengan Neneng Rahmi.
"Saya tidak tahu hanya diminta ketemu di rest area KM 72. Saya bilang kebetulan baru hadir rapat di pusat. Saya dikontak Pak Waras, ada yang minta ketemu saya. Saya bilang di kantor saja selesai saya pulang ke rumah," kata Iwa saat persidangan di Tipikor, Bandung, Senin (28/1/2019).
Pertanyaan itu dilontarkan jaksa karena Iwa disebut-sebut menerima duit Rp1 miliar terkait pengurusan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) proyek Meikarta.
Nama Iwa pertama kali disebut oleh Bupati nonaktif Bekasi, Neneng Hasanah Yasin.
Dalam persidangan disebutkan Iwa menerima uang dari Neneng Rahmi Nurlaili yang menjabat Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
Neneng menyebut permintaan itu terkait kepentingan Pilgub Jabar.