TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tanah Merah Boven Digul dulunya adalah penjara alam. Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir pernah dibuang di lokasi itu pada 28 Januari 1935 silam. Mereka dianggap musuh pemerintah kolonial Belanda karena membangkang.
Selain Hatta dan Sjahrir, mereka yang dibuang ke Digul di antaranya Mohamad Bondan, Maskun, Burhanuddin, Suka Sumitro, Moerwoto, Ali Archam, dan sejumlah para pejuang lainnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, bagi para pejuang pergerakan, Digul adalah tempat pembuangan yang paling menyeramkan.
Digul dibangun oleh Gubernur Jenderal De Graeff pada 1927 sebagai lokasi pengasingan tahanan politik. Di sekeliling Digul terdapat hutan rimba dengan pohon yang menjulang tinggi. Bung Hatta pernah dibuang di Digul selama satu tahun.
Digul jauh dari mana pun. Digul semakin mengerikan lantaran nyamuk malaria yang ganas. Sungai Digul memiliki panjang 525 kilometer. Selain panjang, juga banyak buaya di sungai ini.
Baca: Pembagian Daging Kurban di Tangerang Kini Gunakan Wadah Besek Bambu
Tribun Network mencoba mengunjungi tempat ini. Perjalanan panjang melalui jalur udara. Dari Jakarta-Jayapura lalu menyambung dari Jayapura ke Tanah Merah.
Selain jalur udara, bisa melalui jalur darat dari Merauke. Membutuhkan waktu sekitar 6 jam dengan berkendara menggunakan roda empat.
Baca: Sakit dan Tidak Cukup Umur, 547 Ekor Hewan Kurban di Jakarta Dinyatakan Tak Layak Sembelih
Di atas pesawat sebelum tiba di Bandar Udara Tanah Merah, terlihat hutan rimba dengan pepohonan yang lebat serta Sungai Digul yang panjang.
Tak jauh dari Bandara Tanah Merah, terdapat satu patung besar Bung Hatta. Tepatnya berada di hadapan Bandara yang digunakan untuk pendaratan pesawat perintis.
Di belakang patung Bung Hatta berdiri Markas Polres Boven Digul. Di sebelah Mapolres terdapat bangunan penjara lama.
Thimotius Anok, tokoh masyarakat sekaligus Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Boven Digul mengatakan, bangunan penjara lama ini, merupakan simbol bahwa Bung Hatta pernah diasingkan dan berjuang meski diisolasi.
"Mereka tetap berjuang, meski pergerakan mereka dibatasi," kata Timothius.
"Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku"
- Bung Hatta