Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM - Bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) pada September-Oktober 2015 telah melepas emisi karbon dioksida setara dengan emisi bahan bakar fosil yang dilepaskan oleh Jepang atau India selama setahun.
Karhutla membuat lebih dari 69 juta orang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut karena udara yang tercemar.
Baca: Kebakaran Lahan Gambut di Riau Telah Mencapai 100 Hektar
Selain itu, seperti perhitungan World Bank, bencana tersebut juga menyebabkan kerugian materil lebih 16 miliar USD atau sekitar Rp 215 Triliun dengan nilai tukar dolar Amerika Serikat saat itu.
Karenanya diperlukan skenario penanganan yang tepat untuk menekan risiko kematian.
“Akibat pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak berjalan maksimal, dalam jangka panjang, kematian dini yang ditimbulkan dapat mencapai angka 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak selama periode 2020 hingga 2030,” kata satu peneliti Tianjia Liu di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (13/8/2019).
Dari angka itu, 92 persen kasus kematian dini diperkirakan akan terjadi di wilayah Indonesia, 7 persen di Malaysia, dan 1 persen di Singapura.
“Pemulihan lahan gambut di Indonesia menjadi prioritas penting karena mampu menyimpan 57 gigaton atau 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan hutan hujan tropis biasa atau tanah yang bermineral,” sambungnya.
Pasca kebakaran 2015, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk mengkoordinasi restorasi ekosistem gambut di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Dari total target yang dikerjakan BRG sekitar 892.248 hektare, hingga 2018 sudah dilakukan pembasahan awal seluas 679.901 hektare. Dengan demikian capaian di luar konsesi sepanjang tahun 2016-2018 sebesar 76 persen.
Menghentikan kebakaran di seluruh lahan gambut, akan mengurangi 65 persen emisi akibat kebakaran dan menekan angka kematian dini di Indonesia sebesar 65 persen, 73 persen kematian dini di Malaysia dan 70 persen kematian dini di Singapura.
Tim peneliti mengembangkan aplikasi daring (online) https://smokepolicytool.users.earthengine.app/view/smoke‐policy‐tool untuk memberi kajian dampak sebaran asap pada lima lokasi prioritas wilayah kerja BRG yang paling berdampak bagi kesehatan masyarakat.
Menurut Deputi Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi Wardhana, aplikasi yang dikembangkan oleh para pakar lintas keilmuan Harvard dan Columbia University akan digunakan BRG dalam menetapkan area prioritas restorasi gambut.
Baca: Kebakaran Lahan Gambut di Sampang Menjalar Hingga ke Tempat Pemakaman Umum, Tak Ada Korban Jiwa
“Sebelumnya, penetapan wilayah prioritas restorasi gambut hanya dengan menghitung titik api paling banyak,” paparnya.
Melalui aplikasi ini, BRG akan menambahkan parameter dampak beban kesehatan masyarakat dalam menetapkan wilayah mana saja yang akan menjadi prioritas restorasi gambut berikutnya.