Konten yang dibangun di media sosial dan tersebar di antara warga Papua, lanjut Dedi Prasetyo, dapat membangun opini bahwa peristiwa penangkapan mahasiswa Papua adalah bentuk diskriminasi.
Bahkan, termuat praktik rasisme di sana.
Padahal, Dedi Prasetyo memastikan penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya itu sudah selesai secara hukum.
Awalnya, polisi menerima laporan mengenai perusakan bendera merah putih di asrama mahasiswa Papua.
Kemudian polisi memeriksa beberapa mahasiswa yang tinggal di asrama.
Karena tidak menemukan unsur pidana, kepolisian pun melepaskan mereka kembali.
Proses itu merupakan proses yang wajar dalam hukum.
"Peristiwa Surabaya sendiri sudah cukup kondusif dan berhasil diredam dengan baik. Tapi karena hal tersebut disebarkan oleh akun yang tidak bertanggungjawab, membakar atau mengagitasi mereka dan dianggap narasi tersebut adalah diskriminasi," ujar Dedi Prasetyo.
Kepolisian pun berharap warga Papua, baik yang ada di Pulau Papua maupun di penjuru Indonesia dapat menahan diri serta tidak terprovokasi.
Khususnya oleh pesan berantai di media sosial yang membentuk opini tertentu.
"Jangan terprovokasi oleh ulah oknum-oknum tertentu yang memang ingin membuat keruh keadaan," ujar Dedi Prasetyo.
Diberitakan, protes atas penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya, Malang dan Semarang, masih berlanjut di Manokwari, Papua Barat, Senin pagi.
Aksi massa ini berunjung anarkis.
Pengunjuk rasa dengan membakar kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua Barat di Jalan Siliwangi, Manokwari.
>