Kelima, meskipun mengajak tokoh Papua dan Papua Barat, kami perlu menegaskan bahwa persoalan mendasar dari kisruh masalah Papua bukan berada di rakyat Papua, tetapi justru berada di Jakarta dan masyarakat di luar Papua.
Untuk itu, Presiden juga perlu mengagendakan pertemuan dengan tokoh masyarakat di luar Papua untuk menghentikan praktek rasis dan diskriminasi terhadap Papua khususnya, dan rakyat Melanesia di Indonesia umumnya.
Keenam, kami juga menyerukan agar pemerintah merancang proses dialog yang benar-benar mendasarkan sehingga mampu menyelesaikan persoalan Papua.
Sebab, mengandalkan pembangunan fisik dan uang sudah terbukti tidak mampu merebut hati orang Papua.
Tidak dapat ditampik bahwa uang dan infrastruktur dibutuhkan, tetapi merebut hati jauh lebih penting.
Sangat wajar, kalau Papua menginginkan dialog seperti yang pernah dilakukan di Aceh. “Kalau Aceh boleh berdialog yang mediasi pihak ketiga, semestinya Papua juga perlu mendapat perlakuan yang sama,” tutur Engelina..
Ketujuh, kami juga mendesak agar lima wilayah Melanesia, yakni Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan NTT yang melimpah kekayaan alam, seperti ikan, Mutiara, minyak, emas dan gas, serta pariwisata tidak dijadikan daerah eksploitasi sumber daya alam, sementara di sisi lain, membiarkan lima provinsi Melanesia ini terpuruk dalam kemiskinan di atas kekayaan sumber daya alam yang melimpah.