Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Daerah Jawa Barat non aktif Iwa Karniwa keluar dari Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai menjalani pemeriksaan dalam kasus dugaan suap perizinan proyek Meikarta 2018, Jumat (30/8/2019) pukul 17.26 WIB.
Memakai rompi tahanan KPK, Iwa Karniwa resmi ditahan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Dalam kesempatan tersebut Iwa Karniwa menyampaikan mendukung proses hukum terhadap kasus tersebut dan mendukung KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
Ia juga bersyukur telah menerima proses pemeriksaan penyidik KPK secara profesional.
Baca: Sedang Berlangsung TV Online Indosiar Persib vs PSS Sleman, 3 Pilar Asing Debut Starting XI
Baca: Kapolda Klaim Situasi Keamanan di Papua Sudah Kondusif
Baca: Beredar Video Mahasiswa Dipaksa Minum Air Bekas Teman dan Dipukul Saat Ospek Universitas di Ternate
"Saya sudah menjalankan sesuai dengan statement saya tempo hari akan mendukung proses hukum dan saya mendukung kpk untuk pemb korupsi. Dan alhamdulillah tadi udah mendapatkan pemeriksaan secara baik dan profesional oleh penyidik dan saya akan ikuti proses. Mengenai substansi silakan ke penasihat hukum," kata Iwa Karniwa di Gedung KPK Merah Putih.
Diberitakan sebelumnya, dalam kasus dugaan suap izin Meikarta ini, KPK menetapkan Iwa Karniwa sebagai tersangka kasus suap pengurusan izin Meikarta, dalam hal ini Iwa berperan untuk memuluskan pengurusan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi (RDTR).
RDTR sendiri penting untuk membangun proyek Meikarta.
Raperda RDTR Kabupaten Bekasi itu disetujui DPRD Bekasi dan dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dilakukan pembahasan.
Namun, pembahasan Raperda tingkat provinsi mandek.
Baca: Pesan WA yang Dihapus Jadi Pemicu Acun Habisi Nyawa Istrinya, Polisi Sebut Tersangka Pria Posesif
Baca: Ramalan Zodiak Cinta Besok Sabtu 31 Agustus 2019, Gemini Dingin, Pisces Bubar, Leo Curiga
Raperda itu tidak segera dibahas BKPRD, sedangkan dokumen pendukung sudah diberikan.
Untuk mengurus RDTR itu, Iwa diduga menerima uang senilai Rp 900 juta dari mantan Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi Nurlaili.
Uang dari Neneng itu sampai ke tangan Iwa melalui sejumlah perantara seperti legislator Kabupaten Bekasi Soleman dan Anggota DPRD Jawa Barat Waras Waras Wasisto.
Atas perbuatannya Iwa disangkakan melanggar pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain Iwa, KPK juga menetapkan mantan Presdir Lippo Cikarang Bartholomeus Toto sebagai tersangka.
Toto diduga berperan sebagai penyuap Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin untuk memuluskan pengurusan izin pembangunan proyek Meikarta.
Toto disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan juga telah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih KPK Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019).
Pria yang akrab disapa Aher tersebut diperiksa sebagai saksi untuk Sekda Jabar Non Aktif sekaligus tersangka kasus suap pengurusan izin Meikarta, Iwa Karniwa.
Kehadirannya hari ini merupakan penjadwalan ulang dari pemeriksaannya yang seharusnya dilakukan kemarin pada Senin (26/8/2019).
Ia keluar dari Lobi Gedung KPK Merah putih pada pukul 14.17 WIB.
Aher mengatakan dirinya tidak mengetahui terkait dengan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi (RDTR).
"Kemarin saat saya ditanya tentang proses RDTR dari Kabupaten Bekasi yang ditetapkan atau yang sudah disepakati oleh Bupati dan DPRD, saya katakan saya tidak tahu proses itu sama sekali," kata Aher.
Ia pun mengatakan tidak mengetahui terkait proses pembahasannya di tingkat Provinsi, karena sampai pensiun dirinya belum menerima dokumen rekomendasi terkait hal tersebut.
"Saya juga tidak tahu proses di Provinsi karena biasanya rekomendasi-rekomendasi terhadap Perda yang diajukan oleh Bupati Walikota itu masuk ke meja saya setelah selesai diparaf oleh semua pihak baru saya ditandatangani. Sampai saya pensiun itu belum masuk. Jadi saya tidak tahu proses RDTR-nya di Kabupaten Bekasi seperti apa. Saya juga belum tahu juga ketika itu sudah dikirim ke Provinsi diproses di Provinsi, kemudian keburu saya pensiun," kata Aher.
Aher sebelumnya sudah pernah diperiksa KPK terkait Meikarta pada Rabu (9/1/2019).
Saat itu, dia diperiksa terkait dengan perannya ketika menjadi gubernur dalam proses perizinan Meikarta.
"Jadi proses perizinan ini baik yang diketahuinya terkait dengan perizinan Meikarta yang dilakukan Kabupaten Bekasi ataupun terkait dengan rekomendasi yang menjadi domain atau kewenangan dari pemerintah provinsi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Rabu (9/1/2019).
Selanjutnya KPK juga mengklarifikasi sejauh mana Aher mengetahui adanya dugaan penerimaan uang oleh beberapa pejabat di Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait kasus tersebut.
"Kami mulai menemukan beberapa data dan informasi dan bukti yang baru terkait dengan pihak lain yang diduga mendapatkan aliran dana. Di Pemprov Jabar, misalnya, ada pejabat atau sejumlah anggota DPRD Kabupaten Bekasi dan keluarga ke luar negeri. Itu sedang dialami oleh KPK," ungkap Febri.
Dalam perkara ini, pada Jumat (23/8/2019) lalu, KPK juga telah memeriksa mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar dalam perkara yang sama.
Kala itu, Deddy Mizwar mengakui bahwa rancangan peraturan daerah (Raperda) tata ruang dari Pemkab Bekasi untuk proyek pembangunan Meikarta bermasalah.
"Kan sudah selesai (proses perizinannya). Yang 84,6 hektar sudah selesai, dan itu hak mereka. Yang jadi persoalan kan Raperda. Raperda perubahan tata ruang," ucap Deddy seusai diperiksa di Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (23/8/2019) lalu.