TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Sekitar 9 tahun lalu, tiga orang siswa di SMKN 1 Sanden, Bantul, Yogyakarta, berangkat Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Pelabuhan Benoa, Bali.
Dari puluhan siswa yang berangkat, ada 3 orang siswa yang sampai sekarang tidak diketahui nasibnya, karena kapal yang ditumpanginya hilang.
Ketiga anak tersebut adalah Agiel Ramadhan Putra, Ignatius Leyola Andrinta Denny Murdani, dan Ginanjar Nugraha Atmaji.
Berbagai upaya dilakukan orangtua mereka untuk mencari keberadaan anak-anak mereka, sampai akhirnya hanya bisa pasrah dengan keadaan yang dihadapi.
Orangtua Agiel, Riswanto Hadiyasa, menceritakan, berbagai upaya terus dilakukannya untuk mendapatkan kejelasan nasib anak pertamanya itu.
Dia menceritakan, saat itu Agiel masih kelas 2 SMK dan akan berangkat PKL.
Baca: Dua dari 3 Fakta Baru Temuan Polisi: Truk Overload 25 Ton, Sopir Panik Tak Aktifkan Rem Angin
Oleh pihak sekolah, Riswanto dan puluhan orangtua siswa lainnya diundang ke sekolah untuk mendapatkan sosialisasi.
Dalam sosialisasi itu, Kepala SMK N 1 Sanden, Ahmad Fuadi menyampaikan bahwa PKL yang resmi sebenarnya dilaksanakan di Pekalongan, Jateng, selama 3 bulan.
Baca: 14 Tahun Lalu Pesawat Mandala Jatuh di Medan Karena Ini, Bukan Dipicu Muatan Durian
Namun akhirnya, PKL dilaksanakan di Tanjung Benoa, Bali, selama 3 bulan, dengan alasan di sana merupakan pelabuhan internasional.
Selain itu, anak-anak akan mendapatkan uang Rp 4 sampai Rp 8 juta. Dalam sosialisasi juga diperkenalkan seseorang yang bernama Mugiri yang menurut dia sebagai guru pembimbing.
Namun setelah persidangan diketahui bahwa Mugiri adalah calo tenaga kerja.
Baca: Ini Penjelasannya, Mengapa Laka Maut Sering Terjadi di Sekitar KM 91-92 Tol Purbaleunyi
Setelah rencana PKL itu disetujui, sekolah meminta uang Rp 2.250.000 untuk keperluan biaya keberangkatan para siswa ke Bali.
Pada 31 Desember 2009 lalu, ketika anaknya dan para siswa di SMKN 1 Sanden akan berangkat untuk PKL di Bali, mereka harus mengurus KTP.
Padahal waktu itu Agiel berusia 16 tahun dan belum layak mendapatkan KTP.
Tanpa curiga, karena sudah percaya pada sekolah, akhirnya para orangtua merelakan anak mereka melaksanakan PKL di Tanjung Benoa.
Setelah beberapa bulan anaknya mengikuti PKL, Riswanto tidak menaruh curiga hingga akhirnya ia menerima surat dari PT Sentra Buana Utama tertanggal 2 Maret 2010.
Pihak perusahaan memberitahukan bahwa kapal KM Jimmy Wijaya tempat Agil bekerja mengalami hilang kontak per 6 Februari 2010 pukul 04.00 WIT.
Riswan menerima surat dari petugas pos perihal kabar kurang sedap itu. Dalam surat itu disebutkan Agiel bekerja mulai tanggal 27 Februari 2010.
"Saya percaya itu PKL, dapat surat ditujukan kepada saya orangtua, dalam surat itu lost contact. Di situ saya kaget, kok di sini dapat dari PT, setahu saya anak lagi PKL," katanya saat dihubungi, Selasa (3/9/2019).
Saat itu, Riswanto menelepon perusahaan pemberi surat menanyakan soal PKL. Kenyataannya, Agiel dan teman-temannya disalurkan calo untuk bekerja di kapal.
Pihak perusahaan pun memberitahukan bahwa masih mencari kapal tersebut.
Riswanto akhirnya mendatangi sekolah tanpa terlebih dahulu memberitahukan tentang kejadian hilangnya kapal yang ditumpangi anaknya.
Ketika ditanya soal PKL, kepala sekolah bilang baik-baik saja.
"Waktu itu dijawab baik-baik saja. Saya tanya kerja di mana anak saya, dan dijawab baik-baik saja. Surat (dari perusahaan) saya banting di meja, begitu baca gemeter," ucapnya.
Saat itu Riswanto menanyakan mengenai PKL yang ternyata dipekerjakan oleh perusahaan.
Akhirnya ia berangkat ke Bali untuk mendapatkan kejelasan mengenai nasib anaknya.
Pada awal pencarian, ia sempat mengalami kesulitan sampai akhirnya bisa bertemu dengan perusahaan.
Riswanto mendapatkan bukti kontrak kerja, dan pihak perusahaan mendapatkan tenaga kerja dari calo ke calo.
Perusahaan sendiri menerima mereka bekerja karena memiliki KTP yang diketahui palsu.
"Dalam kontrak kerja itu 6 bulan, ternyata anak saya sudah teken (tanda tangan). Intinya anak saya tidak mengetahui," ucap pria yang saat ini mengaku tinggal di Jakarta.
Setelah mendapatkan bukti-bukti kuat soal penipuan, Riswanto pun melaporkan ke pihak kepolisian. Namun hingga hampir 1 tahun, kasus tersebut tidak jelas ujungnya.
Riswanto mendatangi Kementerian Hukum dan HAM, hingga menghubungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dibuatkanlah surat tembusan ke Polda Bali dan Polda DIY. Sampai akhirnya masuk ke ranah persidangan, dan kepala sekolah beserta guru divonis bebas.
Riswanto terus berupaya mencari keadilan. Ia berusaha meminta bantuan Presiden Joko Widodo, namun tidak ada respons.
Akhirnya Riswanto pun mencoba mengontak Menteri Kelautan dan Perikanan yang nomornya didapat dari seseorang. Tetapi hingga kini tidak ada respons.
"Saya berharap Denny mengetuk pintu rumah" Lucia Martini awalnya kaget saat mengetahui sejumlah jurnalis mendatangi rumahnya di Kedon, RT 04, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul.
Saat itu ingatannya kembali ke 10 tahun silam saat mengantarkan Ignatius Andrianta Loyola Denny Murdani berangkat PKL ke Bali.
Saat itu, anak ketiganya sempat menolak diantar kakaknya. Ia lebih memilih diantarkan ibunya.
"Saya diantar Mom (ibu) saja. Nanti enam bulan saya tidak melihat Kedon (nama dusunnya)," kata Martini menirukan upacan anaknya, Rabu (4/9/2019).
Lucia tak menyangka akan berpisah dengan anaknya sampai sekarang. Padahal anaknya bercita-cita menjadi prajurit TNI AL.
Lucia mengaku terlambat mendapatkan informasi hilangnya KM Jimmy Wijaya dibanding para orangtua korban lainnya.
Ia baru mendapatkan informasi soal hilangnya kontak kapal seminggu kemudian.
"Saya mendapatkan informasi terlambat, kedua orangtua mereka sudah mendapatkan informasi seminggu sebelumnya. Langsung dari Bali."
"Sementara saya baru tahu 5 Maret (2010) ketika didatangi pihak sekolah. Padahal Pak Joko (ayah Ginanjar) tahu kapal hilang kontak setelah disurati langsung oleh pihak perusahaan," ucapnya.
Dia menduga karena anaknya belum memiliki KTP, maka dibuatkan oleh calo yang bernama Mugiri.
Denny berangkat ke Pulau Dewata dengan KTP sementara, karena usianya waktu itu masih 16 tahun.
Di kemudian hari, dia baru mengetahui ternyata di Bali, anaknya tidak PKL, namun dipekerjakan sebagai anak buah kapal (ABK).
"Saya baru tahu ternyata KTP anak saya dipalsukan supaya bisa bekerja di kapal. Pelakunya Mugiri. Dia sudah divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Bantul," ucapnya.
Sepuluh tahun berlalu tanpa ada kejelasan nasib Denny, Lucia pun pasrah. Namun Lucia punya firasat bahwa Denny masih hidup dan akan pulang.
"Sebagai seorang ibu, saya percaya dia masih hidup tapi entah di mana. Saya berharap Denny mengetuk pintu rumah," katanya.
"Feeling saya belum (meninggal) belum pernah bertemu lewat mimpi. Hatiku juga masih tenang dan tidak deg-degan. Kapan waktu Denny akan pulang. Saya masih mengharapkan pulang, ada mukjizat Tuhan. Setiap sembahyang saya selalu mendoakan," ujarnya.
Ingatan tentang anaknya masih sering muncul dibenaknya ketika melihat gedung sekolah.
"Saya ke sekolah sampai bosen, saya dulu sering ke sekolahan. Saya gak nuntut Denny pulang hidup, seandainya sudah meninggal pun saya terima. Tetapi ada kejelasan bagaimana nasibnya," ucapnya.
Hingga kini Lucia tidak mengetahui sampai di mana pencariannya ataupun perkembangan kasusnya.
Sebab, ia sudah tidak pernah berkomunikasi dengan kedua orangtua yang lain. Termasuk dengan Riswanto yang mengaku mewakili Martini dan Joko untuk kembali menuntut keadilan.
Sementara Martini mengatakan bahwa dia terakhir bertemu Riswanto pada 2011 lalu dan setelah itu tidak pernah berkomunikasi lagi.
"Saya ketemunya 2011 habis di pengadilan dengan Pak Riswanto. Nggak pernah kordinasi (Riswanto). Tidak ada komunikasi. Karena HP juga saya rusak, terus hilang kontak."
"Pak Riswanto juga pergi toh. Kalau sama Pak Joko masih sering mampir. Kalau dengan Pak Tiswanto ketemu terakhir di pengadilan," katanya.
Berharap tidak ada kasus serupa Joko Priyono, orangtua Ginanjar Nugroho Atmaji saat ditemui di rumahnya Daleman, RT 2, Gadingharjo, Sanden, Bantul, mengaku sudah mengikhlaskan anaknya.
Dirinya dan Riswanto pada awal kasus hilangnya sempat ikut mendatangi perusahaan di Bali.
Waktu itu diantarkan oleh pihak kepolisian. Kedatangan Joko dan Riswanto diterima oleh Ketut Widarba, bagian personalia.
Saat itu ternyata diketahui anak mereka diterima sebagai pekerja, bukan sebagai PKL yang selama ini dikatakan oleh pihak sekolah.
Dia dan orangtua lainnya juga mengaku sudah menerima santunan dari perusahaan tempat anaknya magang sebesar Rp 25 juta. Saat bertemu perwakilan perusahaan, pihak perusahaan juga tidak mengetahui bahwa ketiga korban itu merupakan pelajar.
Mereka mengetahui ketiganya memang pencari pekerjaan.
"Ternyata anak saya di sana dipekerjakan sebagai ABK. Pelakunya Mugiri, sudah ditangkap dan divonis bersalah," ucapnya.
"Perusahaan sudah mengerahkan kapal untuk mencari KM Jimmy Wijaya. Namun tidak ketemu. Mugiri yang memalsukan dokumen juga sudah divonis bersalah. Kasus ini sudah lama. Saya anggap ini sebagai musibah. Saya sudah menerima," ucapnya.
Joko tidak banyak menuntut karena berbagai pertimbangan, dan pelaku pemalsuan identitas pun sudah dihukum. Hanya saja dia berharap, tidak ada lagi kasus serupa di Indonesia.
"Yang terpenting tidak ada lagi kasus serupa, dan sekolah (SMK N 1 Sanden) sudah berubah," ucapnya.
Sementara itu Samsiah, ibu Ginanjar mengatakan, sebelum hilang, ia sempat berkomunikasi dengan anaknya. Terakhir, anaknya mengabarkan sedang berada di laut sekitaran Merauke. Ginanjar sempat minta dikirim pulsa. Samsiah yakin anaknya masih hidup.
"Saya yakin masih hidup," katanya.
Tanggapan SMKN 1 Sanden
Kepala SMKN 1 Sanden Slamet Raharjo mengatakan bahwa ia menjabat kepala sekolah setelah kasus itu selesai pada tahun 2012 lalu.
Ia mengaku kurang begitu paham mengenai kasus tersebut, tetapi sepengetahuannya kasus tersebut sudah selesai dan sudah ada yang divonis bersalah.
"Itu sudah selesai di tingkat pengadilan. Ya, saat itu perusahaannya ada sanksi hukum, terus keluarga dari anak-anak sudah mendapatkan kompensasi, itu yang saya tahu," katanya.
Menurut Slamet, kepala sekolah sebelumnya yaitu Akhmad Fuadi, sudah pindah ke SMK N 1 Pandak.
Upaya pencarian, sepengetahuan dirinya juga dilakukan mulai dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga Bakamla.
Namun memang para siswa SMK itu belum bisa ditemukan. Kasus itu pun menjadi bahan evaluasi dan jangan sampai terulang.
Slamet sendiri mengaku tidak berkomunikasi lagi dengan keluarga korban. Karena setelah menjabat kepala sekolah, urusan tersebut telah terselesaikan.
"Prosesnya sudah selesai, walaupun secara kemanusiaan terus memantau, hilang itu bisa ketemu. Sampai saat ini belum ketemu," ucapnya.
Disinggung apakah masih berkomunikasi dengan perusahaan di Benoa, Bali, Slamet mengaku tidak ada sejak dirinya menjabat. Saat ini anak-anak SMK N 1 Sanden melakukan PKL di Juwana, Jawa Tengah.
Pihaknya bekerja sama dengan salah satu perusahaan kapal ikan. Sekarang itu, anak didiknya sebelum magang ke kapal ikan sudah dibekali standar keamanan internasional.
Setelah lulus baru bisa mengikuti praktik laut.
"Itu saya tidak paham (soal calo). Belajar dari itu saya berhati-hati MoU dengan perusahaan yang kapalnya jelas. Setiap anak mau berangkat, kapalnya apa, perusahaannya apa, jelas tidak boleh pindah-pindah. Perusahaan kapal kita yang utama satu tapi satu itu punya banyak kapal. Dia kebetulan lulusan STP, pelaut juga, ia punya 16 kapal PT Putra Riau (namanya)," ucapnya.
Penulis : Kontributor Yogyakarta, Markus Yuwono
Artikel ini tayang di Kompas.com dengan judulĀ Dikira Magang, 3 Siswa SMK Dijual Calo ke Perusahaan Kapal hingga Hilang 9 Tahun