Ketiga, tidak mengakomodir masukan dari masyarakat. Sedari awal berbagai elemen masyarakat, organisasi, serta tokoh sudah mengungkapkan bahwa ada persoalan serius pada seleksi Pimpinan KPK kali ini.
Mulai dari Ibu Shinta Wahid, Buya Syafii Maarif, Romo Magnis, Romo Benny, Pimpinan Muhammadiyah, Prof Mahfud MD, dan puluhan Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia.
Namun masukan tersebut juga tidak diakomodir, baik oleh Pansel, Presiden, maupun DPR. Sehingga dapat dikatakan bahwa seleksi Pimpinan KPK kali ini hanya dijadikan urusan segelintir elite politik saja, tanpa melibatkan masyarakat luas.
Apalagi kemudian, langkah paralel DPR RI dan Pemerintah adalah dengan merevisi UU KPK melalui jalur cepat, dimana masukan dari berbagai elemen masyarakat tidak didengar sama sekali.
Seluruh calon Pimpinan KPK juga sangat terikat dengan komitmen menyetujui revisi, sebagai syarat untuk terpilih sebagai Pimpinan KPK. Para calon Pimpinan KPK diminta untuk menandatangani kontrak politik saat fit and proper test yang berkaitan dengan persetujuan revisi UU KPK.
Keadaan yang sangat tidak ideal ini tentu membawa dampak langsung bagi agenda pemberantasan korupsi.
ICW menyatakan, sebagai anak kandung reformasi yang dilahirkan antara lain oleh TAP MPR XI/ 1998, pelemahan terhadap KPK adalah pengkhianatan terhadap mandat reformasi dan mimpi bangsa soal demokrasi yang sehat.
Sebut Gerakan Politik
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengkritik langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang menggelar konferensi pers untuk menyatakan Irjen Firli Bahuri melakukan pelanggaran etik berat.
Fahri mempertanyakan kenapa pelanggaran etik ini tak diumumkan KPK sejak dulu. Menurut dia, ‘vonis’ yang disampaikan sehari sebelum Firli menjalani uji kelayakan dan kepatutan sebagai Capim KPK itu semakin menunjukkan bahwa KPK sudah berpolitik.
“Habis sudah KPK. Semakin kentara sebagai gerakan politik,” ujar Fahri saat dihubungi, Kamis (12/9/2019).
Menurut politisi PKS ini, sikap KPK terhadap Firli ini mirip dengan sikap lembaga antirasuah tersebut kepada Jenderal Budi Gunawan dulu.
Awal 2015 lalu, Ketua KPK Abraham Samad mengumumkan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi begitu sang jenderal dipilih Presiden Jokowi sebagai Calon Kapolri.
“Kasus Budi Gunawan kembali terulang. KPK sangat benci dengan Polri. Dulu, Budi Gunawan dengan begitu meyakinkannya dituduh dan difitnah, padahal sedang di fit and peoper test di DPR,” kata Fahri.