Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah LSM dan beberapa advokat melaporkan Polda Jawa Timur ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) terkait penetapan aktivis HAM Veronica Koman sebagai tersangka.
Adapun LSM yang terlibat antara lain LBH Pers, Safenet, YLBHI, Civil Liberty Defender (CLD), Federasi Kontras, LBH Apik Amnesty Internasional Indonesia, Yayasan Satu Keadilan (YSK) serta LBH Jakarta.
Baca: PBB Minta Indonesia Cabut Status Tersangka Veronica Koman, Ini Tanggapan Polisi
Tigor Hutapea, salah satu perwakilan advokat mengatakan Veronica Koman berkapasitas sebagai pengacara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) sejak tahun 2018 silam.
Oleh karenanya, Veronica Koman pun menerima banyak informasi langsung dari mahasiswa Papua terkait kondisi dan kejadian di Bumi Cendrawasih.
Sehingga, kata dia, tidak tepat apabila Veronica Koman yang menyampaikan informasi tersebut melalui akun Twitter-nya dianggap sebagai berita bohong.
"Inilah yang dipublikasikan ke medsos melalui Twitter. Jadi apa yang diinformasikan Veronica Koman itu adalah sesuatu yang fakta bukan sebuah informasi yang tidak benar atau direkayasa sendiri oleh dia," ujar Tigor, di kantor Kompolnas, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (18/9/2019).
Menurutnya, penetapan tersangka kepada Veronica pun terbilang aneh lantaran yang bersangkutan adalah advokat dari AMP.
"Sehingga penetapan tersangka yang diterapkan kepada Veronica Koman adalah suatu tindakan yang menurut kami abuse ya, sewenang-wenang kepada seorang advokat maupun seorang Pembela HAM," kata dia.
Baca: Ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus Suap, Imam Nahrawi Tak Berkantor Sejak Pagi
Lebih lanjut, ia pun berharap agar Kompolnas dapat memeriksa dan melihat apakah penetapan status tersangka kepada Veronica ini sudah tepat atau tidak.
"Menurut kami, sebagai advokat tidak bisa dikenakan pidana maupun perdata itu diatur di UU Advokat maupun keputusan MK. Bahkan dua hari yang lalu, dewan PBB mengeluarkan satu statement bahwa Indonesia harus melindungi pembela HAM," pungkasnya.
Akan diserahkan ke Interpol
Pemerintah Australia mungkin saja akan menyerahkan Veronica Koman yang kini diperkirakan berada di Sydney jika ada permintaan dari Pemerintah Indonesia.
Prosedur ini bisa terjadi jika Indonesia menerbitkan "red notice" ke Interpol.
Media The Guardian hari ini Rabu (18/9/2019) melaporkan bahwa pihak berwajib Australia tampaknya menolak untuk mengesampingkan penyerahan Veronica yang kini dijadikan tersangka dalam kasus Papua.
Veronica merupakan pengacara HAM asal Indonesia yang kini tinggal di Australia, dan sedang diburu oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) karena diduga terkait kasus kerusuhan di Papua.
Baca: Perjalanan Kasus Veronica Koman: Diburu Interpol, Klaim jadi Korban Kriminalisasi, Kini Dibela PBB
Polisi menyebut informasi yang disebar Veronica sebagai hoaks serta menuduhnya menerima aliran dana untuk memprovokasi kasus Papua.
Pasal-pasal pidana yang dituduhkan polisi ke Veronica mengandung ancaman hukuman penjara hingga enam tahun jika dinyatakan bersalah di pengadilan.
Kepada ABC Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur Frans Barung Mangera mengatakan jika Veronica tidak melapor ke polisi pada hari Rabu (18/9/2019) ini, maka pihaknya akan menerbitkan "red notice" melalui Interpol untuk penangkapannya.
"Tidak ada intimidasi, yang ada penegakkan hukum secara profesional melalui gelar kerjasama internasional melalui Kemenlu dan jalur polisi internasional," ujar Kombes Frans Barung Mangera.
Pihak berwajib Indonesia
Sementara itu, pihak Departemen Luar Negeri Australia (DFAT) yang dihubungi secara terpisah menyatakan persoalan ini bukan di wilayah mereka, dengan jurubicaranya mengatakan masalah ini ada di ranah Kepolisian Federal Australia (AFP).
Seorang jurubicara AFP menjelaskan, "Setiap pertanyaan tentang permasalahan ini harus ditujukan ke pihak berwajib Indonesia."
Dalam rilis yang disampaikan beberapa waktu lalu, Veronica mengatakan adanya "kampanye pemerintah Indonesia yang ingin membuat saya diam".
Dia menyebut adanya intimidasi polisi terhadap keluarganya di Jakarta serta ancaman untuk mencabut paspor dan memblokir rekening banknya.
Sistem "red notice" Interpol seringkali disalahgunakan oleh rezim otoriter untuk mengejar para pembangkang atau lawan politik pemerintah yang telah meninggalkan negara itu.
Padahal sistem ini seharusnya digunakan untuk mencari dan menangkap orang-orang yang dicari yang akan dituntut atau menjalani hukuman.
Menurut catatan saat ini ada sekitar 58.000 red notice di seluruh dunia, dan hanya sekitar 7.000 yang dipublikasikan.
Pasal 3 konstitusi Interpol jelas-jelas melarang lembaga itu melakukan "segala intervensi atau kegiatan yang bersifat politik, militer, agama atau ras".
Sebelumnya Indonesia pernah mengeluarkan red notice untuk pemimpin gerakan Papua merdeka Benny Wenda pada 2011 namun terpaksa mencabutnya pada tahun 2012 karena terbukti bermotivasi politik, dan tidak berdasarkan pertimbangan pelanggaran kriminal.
Sementara itu, kelompok Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) mengatakan akan melanjutkan perjuangan mereka untuk merdeka dengan membawanya ke tingkat PBB.
Permintaan PBB
Sementara itu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) meminta pemerintah Indonesia untuk mencabut status tersangka terhadap Veronica Koman.
Diketahui, Veronica Koman telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan provokasi kerusuhan di Papua.
Menanggapi hal itu, Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera mengatakan tidak ada satupun yang dapat mengintervensi kasus tersebut.
"Begini ya, konstitusi dibuat dari kedaulatan Republik Indonesia. Sehingga tidak ada satu pun yang dapat mengintervensi," ujar Frans, ketika dikonfirmasi, Rabu (18/9/2019).
"Kalau ada yang memberikan masukan akan didengarkan Republik Indonesia ini, tapi tidak untuk mengintervensi," imbuhnya.
Di sisi lain, kepolisian kembali memanggil yang bersangkutan untuk menjalani pemeriksaan hari ini, Rabu (18/9). Pihaknya, kata Frans, memberikan tenggat waktu kepada Veronica hingga petang nanti.
Frans juga menyebut kepolisian akan menerbitkan nama yang bersangkutan dalam daftar pencarian orang (DPO).
"Hari ini terakhir (pemanggilan terhadap Veronica Koman, - red). Pukul 18.00 WIB sudah waktu terakhir. Jadi sesuai dengan perintah bapak Kapolda (Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Luki Hermawan) kita minta petunjuk untuk diterbitkan surat DPO-nya," kata dia.
Baca: MK Terima Permohonan Uji Materi Revisi UU KPK
Sebelumnya diberitakan, desakan agar pemerintah Indonesia mencabut perkara yang menjerat aktivis HAM Veronica Koman datang dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Para ahli Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) justru mendesak pemerintah Indonesia mencabut kasus Veronica sekaligus memberikan perlindungan terhadapnya.
"Kami mempersilakan pemerintah mengambil langkah terhadap insiden rasisme, tetapi kami mendorong agar pemerintah segera melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi," kata para ahli seperti dikutip dari laman OHCHR, Rabu (18/9/2019).
"Dan mencabut segala kasus terhadap dia (Veronica) sehingga dia dapat kembali melaporkan situasi mengenai HAM di Indonesia secara independen," kata mereka.
Para ahli diketahui bernama Clement Nyaletsossi Voule dari Togo, David Kaye dari Amerika Serikat, Dubravka Šimonovi dari Kroasia, Meskerem Geset Techane dari Etiopia, dan Michel Forst dari Perancis.
Selain itu, para ahli itu sekaligus menyampaikan bahwa keinginan polisi mencabut paspor Veronica, memblokir rekening, dan meminta Interpol menerbitkan red notice turut menjadi perhatian mereka.
Dalam keterangan tertulisnya, OHCHR juga mendorong pemerintah Indonesia untuk memperhatikan hak-hak peserta aksi serta memastikan layanan internet tetap tersedia di Papua dan Papua Barat.
Baca: Pemerintah Australia Mungkin Akan Serahkan Veronica Koman ke Interpol
Sebab, pembatasan layanan internet yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak 21 Agustus maupun penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dinilai tak akan menyelesaikan masalah.
Sebaliknya, para ahli menganggap pembatasan kebebasan berekspresi itu dapat membahayakan keselamatan para aktivis HAM untuk melaporkan dugaan pelanggaran.
"Secara umum, pembatasan internet dan akses terhadap informasi memiliki dampak yang merugikan terhadap kemampuan berekspresi seseorang, serta untuk membagikan dan menerima informasi," demikian tertulis dalam sikap mereka.
"Di sisi lain, akses terhadap internet berkontribusi untuk mencegah terjadinya disinformasi serta memastikan transparansi dan akuntabilitas," kata mereka.
Kelima ahli tersebut pun sekaligus menyambut baik ketika pemerintah mulai membuka akses internet di sejumlah daerah di Papua pada 4 September 2019.
Diketahui, Veronica ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur atas tuduhan menyebarkan konten berita bohong atau hoaks dan provokatif terkait kerusuhan Papua dan Papua Barat pada 4 September 2019.
Polisi menjerat Veronica dengan sejumlah pasal dalam beberapa UU, antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-undang Hukum Pidana terkait pasal penghasutan, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Menurut kepolisian, ada beberapa unggahan Veronica yang bernada provokatif, salah satunya pada 18 Agustus 2019.
Salah satu unggahan yang dimaksud ialah "Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa".
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pemerintah Australia Kemungkinan Akan Menyerahkan Veronica Koman ke Interpol, https://www.tribunnews.com/internasional/2019/09/18/pemerintah-australia-kemungkinan-akan-menyerahkan-veronica-koman-ke-interpol?page=all.
Editor: Hasanudin Aco