a. Pasal 13 Ayat (1): "Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya ";
b. Pasal 30 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5):
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dan pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama;
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal;
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis;
(5) Ketentuan mengenai pendidiiaturkan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
4. Bahwa nomenklatur dan substansi yang diatur dalam RUU Pesantren tidak mencerminkan dinamika pertumbuhan dan perkembangan Pesantren saat ini sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
5. Bahwa RUU Pesantren ini apabila disahkan menjadi UU, berpotensi memunculkan tuntutan peraturan perundang-undangan yang sejenis dari pemeluk agama selain Islam, dan apabila tidak dipenuhi dapat menimbulkan pertentangan dan perpecahan dalam kehidupan masyarakat, yang dapat berujung pada terjadi disintegrasi bangsa.
6. Bahwa ketentuan yang diatur dalam RUU Pesantren hanya mengakomodir dan mengatur pesantren yang berbasis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin, dan belum mengakomodir keberagaman pesantren sesuai dengan tuntutan pertumbuhan dan perkembangan pesantren.
Berdasarkan hasil kajian di atas, kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1.Kami berpendapat bahwa RUU Pesantren tidak dapat dipisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dengan demikian pengaturan yang lebih tepat, apabila diperlukan pengaturan lebih terperinci, maka dilakukan dengan memasukkan materi muatan RUU Pesantren dengan revisi Undang-Undang fiistem Pendidikan Nasional.
2. Rancangan Undang-Undang Pesantren yang dibahas di DPR RI berawal dari RUU inisatif DPR RI dengan nama Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Hal ini menunjukkan perbedaan nomenklatur RUU Pesantren yang dibahas saat ini. Adanya perubahan nomenklatur, menunjukkan perbedaan antara yang diusulkan DPR RI dan yang di usulkan Pemerintah. Kami berpendapat ada persoalan mendasar akibat perbedaan pandangan terhadap Rancangan Undang-Undang ini. Perubahan nomenklatur dan penghapusan ratusan pasal dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, mengakibatkan RUU Pesantren kehilangan pijakan Naskah Akademik yang disusun untuk menghasilkan naskah RUU Pesantren.
3. RUU Pesantren perlu dilakukan kajian menyeluruh untuk dapat dilakukan pembahasan, dengan menyusun ulang Naskah Akademik RUU Pesantren yang salah satunya mengkaji pemisahan antara pengaturan Pendidikan Keagamaan Islam dengan Pendidikan Keagamaan Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu.
4. Kami berpendapat materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama (No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam; No. 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Mu'adalah; dan No. 71 Tahun 2015 tentang Ma'had Aly) sudah memberikan ruang bagi berkembangnya Pesantren.
5. Kami mencermati naskah Rancangan Undang-Undang Pesantren yang saat int tengah dibahas, sebagaimana terlampir bersama Undangan Rapat Dengar Pendapat Umum, dalam Rancangan Undang-Undang Pesantren perlu dilakukan pengkajian dan pendalam yang menyeluruh:
a. Tentang Judul perlu pengkajian mendalam merubah Judul menjadi RUU Pesantren, karena belum ada dasar Filosofis, Sosiologis dan Yuridis terkait pemisahan dalam peraturan yang berbeda antara pendidikan keagamaan, hal ini dapat menimbulkan persoalan disintegrasi serta diskriminatif dalam pelaksanaannya karena ada pendidikan keagamaan yang disuboordinatkan. Pendidikan keagamaan Islam bahkan berada dalam dua Undang-Undang yaitu Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang- Undang Pesantren, sedangkan Pendidikan Keagamaan selain Islam diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, dan merupakan turunan dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. DIM No 1
b. Terkait DIM 144-148, penyetaraan pendidikan pesantren nonformal, Muhammadiyah memandang penyetaraan diperlukan dan diatur sesuai dengan pendidikan lanjutan yang akan ditempuh setidak tidaknya dalam bentuk matrikulasi.
c. Terkait DIM 144-148, terhadap pertanyaan apakah Akreditasi bagi seluruh pesantren muadalah dan non formal diperlukan, Muhammadiyah berpandangan Akreditasi perlu dilaksanakan sebagai bagian dari proses penjaminan mutu.
d. Kami memandang esensi Pasal 16 terkait dengan DIM 195, khusus Pasal 16 ayat (1) dapat dipertahankan, sehingga menjadi Pasal 16 saja.