Imelda Bachtiar, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia sekaligus penulis memoar tema kesejarahan, menulis di Kompas.com tentang pengalamannya wawancaranya semasa jadi wartawan.
Dikutip dari Kompas.com, di masa dewasa dan baru lulus dari Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Imelda Bachtiar adalah seorang wartawan.
Ia lalu bersinggungan lagi cukup intens dengan tema peristiwa 1965 ketika majalah berita tempatnya bekerja, majalah D&R, menulis liputan utama selama empat edisi berturut-turut pada bulan Oktober 1998.
Imelda mewawancarai dr. Liem Joe Thay yang kemudian lebih dikenal dengan Prof Arief Budianto, kini telah almarhum, Guru Besar Kedokteran Forensik UI.
Ia salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari 5 Oktober 1965.
Bagian terpenting dari wawancara itu yang juga dikutip oleh Julius Pour dalam bukunya Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang (Penerbit Buku Kompas, 2010) adalah ketika Prof Arief menyatakan, “Satu lagi, soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa ulang dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan...”
Saya ingat, saya lalu bertanya pada Prof Arief, mengapa di film ada adegan penyiksaan yang sadis dengan mencungkil bola mata?
“Itu semua tidak ada, pemeriksaan mayat membuktikannya. Film itu kan propaganda Orde Baru,” demikian Prof Arief.
Wartawan dan penulis kawakan Julius Pour mengutip lengkap wawancara saya di majalah D&R itu.
2. Soal Penyiksaan terhadap Piere Tendean oleh Gerwani
Masih merujuk penuturan Imelda, pada edisi Oktober 1998 itu Imelda juga mewawancarai Ibu Mitzi Farre-Tendean, kakak kandung almarhum Kapten Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution yang menjadi korban.
Pierre anak tengah dan satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara.
Ibu Mitzi memiliki dokumentasi cukup lengkap surat kabar di masa itu yang menjadi topik wawancara kami.
Baca: Muak karena Wajib Buat Surat ‘Tidak Terlibat G30S’ , Soe Hok Gie: Surat yang Tidak Ada Gunanya
Salah satunya ketika kami membahas berita di koran Angkatan Bersenjatatentang almarhum adiknya yang disiksa dan dilecehkan seksual oleh para anggota Gerwani.