Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva, mengatakan Presiden Joko Widodo mempunyai kewenangan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Menurut dia, penerbitan Perppu tersebut tidak akan membuat presiden dimakzulkan atau impeachment.
"(Penerbitan Perppu,-red) itu wewenang subjektif dari presiden. Itu adalah kewenangan yang diberikan konstitusi. Jadi mana mungkin di-impeach," kata Hamdan Zoelva, Senin (7/10/2019).
Baca: Viral Pemuda yang Kekasihnya Meninggal Jelang Wisuda, Foto Saat Sidang Skripsi Jadi Kenangan
Baca: Gadis 17 Tahun di Cianjur Diculik Saat Tidur Lelap di Rumahnya, Pelaku Memperkosa dan Menjualnya
Baca: PDIP: Surya Paloh Ingin Jaksa Agung Lagi, Bisa Saja
Dia menjelaskan, menerbitkan Perppu merupakan kewenangan Presiden yang diatur Undang-Undang Dasar 1945.
Sehingga, kata dia, segala kewenangan yang diberikan UUD 1945 bila dijalankan dengan itikad baik tidak bisa dihukum.
"Presiden boleh mengeluarkan dan tidak mengeluarkan Perppu. Itu kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar dan tidak ada yang bisa menggangu gugat presiden. Karena itulah UUD 1945 memberikan wewenang kepada presiden," katanya.
Baca: PSIM Yogyakarta Harus Menang Lawan Martapura FC Jika Ingin Lolos ke Delapan Besar
Untuk diketahui, belakangan ini muncul pro dan kontra terhadap perlu atau tidaknya menerbitkan Perppu terhadap berlakunya Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
MK pernah menerbitkan putusan mengenai syarat-syarat konstitusional sebagai ukuran keadaan “Kegentingan yang memaksa” bagi presiden untuk menerbitkan Perppu.
Hal ini tertuang di putusan nomor :138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010.
Baca: Muzani Sebut Prabowo Agak Kecewa Saat Gerindra Tidak Dapat Kursi Ketua MPR
Tiga syarat tersebut, yaitu pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Kedua, UU yang dibutuhkan itu belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai;
Ketiga, kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosudur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.