Para buzzer mencoba mendelegitimasi gerakan itu melalui berbagai unggahan. Bahkan ada sejumlah kicauan yang mengarah pada disinformasi.
Akun @Dennysiregar7, misalnya, berkicau soal ambulans yang merawat korban kerusuhan setelah aksi unjuk rasa berujung ricuh pada 26 September 2019.
Saat itu Denny mencuit, "Hasil pantuan malam ini..Ambulans pembawa batu ketangkep pake logo @DKI Jakarta," tulis Denny sambil mengunggah sebuah video.
Namun, di video tak terlihat bahwa ambulans itu membawa batu. Belakangan akun NTMC Polda Metro Jaya juga mengunggah video serupa, tetapi menghapusnya beberapa menit setelah diunggah.
Polisi lalu mengklarifikasi bahwa ambulans itu datang ke lokasi tidak membawa batu seperti yang dituduhkan. Namun, versi polisi, batu yang ada di di ambulans itu merupakan milik demonstran yang berlindung.
Selain soal polemik batu di ambulans, ada juga tangkapan layar chat pelajar SMK (STM).
Tangkapan layar yang diunggah sejumlah akun pendukung Jokowi itu menunjukkan sebuah grup WhatsApp di mana anak-anak STM mengeluhkan kondisi mereka yang mengikuti demo, tetapi tidak mendapat bayaran.
Kendati demikian, warganet yang mengecek nomor di grup tersebut dengan aplikasi Get Contact dan True Caller justru menemukan fakta lain.
Warganet menduga nomor-nomor yang seolah mengatasnamakan anak STM itu justru adalah nomor polisi.
Namun, kepolisian membantah ada oknum polisi terlibat merekayasa percakapan anak STM ini.
Istana angkat bicara
Riuh para buzzer membuat pihak Istana Kepresidenan angkat bicara.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut para buzzer pendukung Presiden Jokowi di media sosial tidak dikomando.
Menurut Moeldoko, para buzzer pembela pemerintah itu merupakan para relawan dan pendukung fanatik Presiden Jokowi saat kontestasi Pilpres 2014 dan 2019.