Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki alasan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Direktur Eksekutif Indonesian Legal Roundtable (ILR), Firmansyah Arifin mengatakan ada lima alasan bagi Jokowi untuk menerbitkan Perppu KPK.
Pertama, pembentukan Perppu memenuhi syarat materil sebagaimana yang dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Noomor 138 /PUU-VII/2009.
Baca: Prabowo Subianto Berbincang Hampir 2 Jam Dengan Surya Paloh, Soto Mie Jadi Hidangan Santap Malam
Dalam putusan tersebut ada tiga syarat seorang presiden bisa mengeluarkan Perppu, yaitu kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum; terjadinya kekosongan hukum; dan kekosongan hukum itu tidak bisa dengan diselesaikan dengan cara formal.
"Dari ketiga syarat itu, kondisi saat ini telah memenuhi semua prasyarat objektif untuk mengeluarkan Perppu KPK, seperti adanya kekosongan hukum bagi KPK dan kebutuhan mendesak menyelamatkan KPK agar menjalankan fungsinya secara efektif," kata Arifin lewat keterangan tertulisnya, Minggu (13/10/2019).
Baca: Polemik UU KPK Lebih Baik Diselesaikan Lewat Uji Materi di MK
Kedua, kata dia, Perppu merupakan jalan keluar untuk menjawab kebuntuan konstitusional salah satu anggota KPK terpilih, yakni Nurul Ghufron.
Bahwa proses revisi UU KPK yang terburu-buru mengakibatkan tercederainya hak konstitusional calon anggota KPK terpilih, Nurul Ghufron, karena yang bersangkutan dipilih berdasarkan syarat UU KPK yang lama.
"Padahal, dalam UU KPK Revisi, Ghufron tidak memenuhi syarat usia (50 tahun) sedangkan undang-undang itu harus tetap dijalankan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan hak konstitusional Nurul Ghufron yang tercederai, Presiden harus mengeluarkan Perppu sebagai jalan konstitusional dalam waktu yang singkat," kata Arifin.
Baca: 7 Orang Ditangkap Polisi Terkait Kasus Mayat Terbungkus Plastik di Cianjur, Ini Peran Para Pelakunya
Ketiga, lanjut Arifin, penerbitan Perppu lebih memberikan kepastian hukum terhadap KPK secara kelembagaan.
Dalam UU KPK versi revisi, tidak ditemukan adanya mekanisme transisi pemberlakukan peraturan tersebut.
Katanya, UU KPK yang baru harus langsung dijalankan jika disahkan Jokowi.
Meski demikian, terlalu banyak implikasi yuridis turunannya yang harus direspons oleh Jokowi dan KPK untuk mengefektikan undang-undang hasil revisi tersebut, yang tidak mungkin dilakukan dalam jangka waktu pendek.
"Setidaknya perlu dua atau tiga tahun untuk memastikan semua peraturan pendukung tersebut ada, padahal KPK harus terus bekerja tanpa menunggu kekosongan hukum," kata Arifin.