TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi yang disahkan Rapat Paripurna DPR pada 17 September lalu resmi berlaku mulai hari ini, Kamis (17/10/2019), meski tak ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pasal 73 Ayat (2) UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan "Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan, KPK tetap bekerja seperti biasa dalam mencegah dan menindak korupsi.
Baca: UU KPK Berlaku Hari Ini, Gerindra Tunggu Sikap Presiden Jokowi
KPK bakal tetap meningkatkan penanganan korupsi ke tahap penyidikan atau melakukan operasi tangkap tangan (OTT) termasuk kasus-kasus di tingkat penyelidikan yang telah memiliki bukti permulaan yang cukup.
"Pekerjaan di KPK berjalan seperti biasa, tidak ada yang berubah. Jadi misalkan besok ada kasus yang misalkan tapi belum tentu ya, misalkan ada penyelidikan yang sudah matang perlu ada OTT ya akan dilakukan OTT," ujar Agus di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (16/10/2019) malam.
KPK sebelumnya menyebut terdapat 26 poin UU KPK baru yang dikhawatirkan melemahkan bahkan melumpuhkan lembaga antirasuah.
Salah satunya, pemangkasan kewenangan melakukan penyadapan yang selama ini menjadi salah satu 'senjata' KPK untuk melakukan OTT.
Dalam UU hasil revisi, penyadapan dilakukan atas izin atas izin tertulis dari Dewan Pengawas dan mempertanggungjawabkan penyadapan kepada Dewan Pengawas.
Selain itu, hasil penyadapan yang tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani KPK wajib dimusnahkan seketika dan jika tidak dilakukan pejabat dan/atau barang siapa yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain soal penyadapan, poin lainnya yang berisiko menghambat kerja KPK yakni dihapuskannya bagian yang mengatur bahwa pimpinan KPK adalah penanggungjawab tertinggi di KPK serta pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum.
Agus mengatakan, pihaknya telah menyiapkan Peraturan Komisi (Perkom) untuk mengantisipasi pelemahan yang terjadi dampak dari berlakunya UU KPK yang baru.
Termasuk mengenai Dewan Pengawas yang belum dibentuk saat ini serta pihak yang berwenang menandatangani surat perintah penyidikan (sprindik) karena pimpinan KPK nantinya bukan lagi penyidik dan penuntut umum.
"Mengenai Dewan Pengawas belum terbentuk mungkin masih sampai Desember kan, tapi kan itu langsung berlaku kan, seperti yang pimpinan diragukan, penyidik diragukan, itu kan ada implikasinya ke dalam. Oleh karena itu di dalam Perkom itu juga akan menjelaskan in case nanti itu diundangkan, yang tanda tangan sprindik siapa, itu sudah kita tentukan di dalam Perkom itu," kata dia.
Agus mengatakan, di dalam Perkom tidak hanya menyangkut pihak yang berwenang menandatangani sprindik.
Dikatakan, di dalam Perkom tersebut terdapat sejumlah poin lainnya untuk mengantisipasi berlakunya UU KPK baru.
Termasuk menyangkut Pasal 70C UU baru yang menyebutkan, "Pada saat UU ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tipikor yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU ini".
"Isinya banyak. Yang terkait implikasi dari berlakunya UU KPK apa saja, di Perkom itu ada. Itu merinci semua implikasi kalau UU itu berjalan. Perkom itu bukan hanya masalah Sprindik tapi banyak hal yang diatur," ujar Agus.
Agus mengatakan, hingga saat ini Perkom tersebut belum ditandatangani pimpinan.
Dikatakan, pihaknya akan mengundang Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen PP Kemkumham) untuk memastikan berlakunya UU tersebut.
Hal ini lantaran di dalam UU tersebut masih terdapat sejumlah kejanggalan, salah satunya kesalahan ketik atau typo mengenai batas usia pimpinan KPK.
"Kita pun juga bertanya-tanya, karena kan di dalam prosesnya kemudian juga ada typo kemudian kembali lagi ke DPR kan. Jadi kita belum tahu betul apakah besok (hari ini) itu, betul-betul akan diundangkan. Jadi kita belum tahu. Oleh karena itu, besok kita itu mau undang Dirjen Peraturan Perundang-undangan dari Kemkumham, untuk mengetahui kejelasan dari status UU tersebut," kata Agus.
Meski demikian, KPK masih berharap Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) menyangkut UU KPK yang baru.
KPK, kata Agus, memohon Jokowi menerbitkan Perpu setelah dilantik sebagai presiden untuk periode kedua pada 20 Oktober nanti.
"Yang lebih penting kami masih berharap kami masih memohon, mudah-mudahan bapak Presiden setelah dilantik dan memimpin kembali kemudian beliau bersedia untuk mengeluarkan Perpu yang sangat diharapkan oleh KPK dan orang banyak," katanya.