Hal yang berikutnya adalah bagaimana mengeluarkan karakter. Itu tidak mudah karena kadang-kadang, maklumlah kalau antara kita, fotograger, dengan kepala negara pasti akan terjadi. Saya juga sangat surprise oleh apa adanya Bapak, Pak Jokowi, tidak ada batasan-batasan. Semuanya mengalir.
Adakah permintaan Jokowi dalam pemotretan? Fotonya harus begini, harus begitu. Seperti apa?
Sebelumnya iya. Hanya diskusi kecil. Nanti saya menginginkan foto seperti ini, close up. Saya sudah paham karena ada guidande. Waktu itu tidak perlu sampai kaki. Seperti itulah. Berikutnya adalah eksplorasi saya saat memotret Bapak itu saya lakukan setelah semuanya saya dapatkan. Misalnya keperluan offcial hanya foto dari depan.
Tapi saya melihat Bapak kalau diambil dari samping, begitu juga Pak Kiai, dari kiri saya ambil, saya pindah lighting dan banyak sekali. Seperti itu (Darwis Triadi menunjukkan foto Jokowi dari samping), itu sebuah foto yang mengeluarkan karakter Bapak. Itu biasanya bisa kita lakukan secara spontan karena kalau tidak waktu berjalan. Jadi, itulah yang menarik. Menjalankan pekerjaan memotret, apalagi seorang kepala negara, di mana semuanya serba cepat, kita harus melakukan secara prosedural.
Berapa lama proses pemotretan Jokowi dan Maruf Amin?
Tiga puluh menit, tapi sebelumnya saya sempat ngobrol dengan Bapak selama tiga sampai lima menit. Sebetulnya saya mengobrol hanya untuk menetralkan. Saya bicara yang rileks saja, tidak bicara yang berat-berat. Saya utarakan hal-hal sederhana yang bisa bikin Bapak senyum. Itu saja. Supaya rileks saat difoto. Intinya cuma itu.
Saya tahu waktu saya memotret situasi pikiran Bapak sedang berat. Kalau kita lihat tiga minggu lalu, situasinya seperti itu. Buat saya itu adalah suatu momentum mukjizat yang luar biasa.
Saya sempat khawatir tidak dapat ekspresi yang baik. Sebetulnya harus rileks. Bapak terbebani begitu berat. Nah, bagaimana caranya saat memotret, bisa hilang. Ternyata saat itu Bapak, luar biasa, bisa begitu. Saya mengarahkan sedikit, Bapak lepas dan saya mendapatkan momentum satu sampai dua menit itu. Sisanya Bapak kembali ke pemikiran masalah-masalah yang begitu berat, yang memang harus dia jalankan.
Bapak memang sosok pemimpin yang luar biasa dalam kondisi seperti itu saya masih bisa memotret. Itu yang membuat saya salut kepada Beliau dan rileks. Bisa dilihat dari behind the scene. Behind the scene itu saya buat untuk memperlihatkan sosok kepala negara kita, sosok pemimpin kita pada situasi seperti itu, bisa menjalaninya secara rileks. Jika saat itu saya gagal berkomunikasi, fotonya pasti tidak bagus. Kalau tidak bagus, jadinya tidak bagus saat dipajang. Itu persoalannya.
Apa yang Anda ingin sampaikan dalam potret itu?
Sebetulnya sederhana, saya mau menyampaikan saya sebagai fotografer saya memotret pemimpin saya, saya memotret pemimpin negara Indonesia, saya membuat bukan hanya untuk rakyat Indonesia, tapi juga untuk negara luar. Nih, pemimpin gua punya karakter, punya wajah yang tegas, cool, bijaksana. Itu yang saya tangkap di situ dan saya dapatkan itu.
Kadang-kadang saya melihat foto kepala negara luar negeri keren banget. Kita juga pengin saat nanti terpajang dalam setiap acara, "Oh, ini kepala negara Indonesia." Memang itu adalah sebuah tujuan saya, untuk melakukan itu.
Bagaimana suasana saat pemotretan Jokowi dan Maruf Amin? Adakah yang sulit diatur atau mungkin canggung saat difoto?
Sama sekali tidak. Sebetulnya sebuah pengaturan pose itu tergantung fotografernya karena kalau itu sudah bisa diatasi, akan lepas, rileks. Kalau sudah rileks kita bisa mengarahkan apa saja yang kita mau. Saat itu, kaptennya adalah si fotografer, bukan siapa-siapa. Beliau hanya mengikuti arahan kita, tapi bagaimana Beliau mau mengikuti kalau Beliau tidak trust.
Menurut saya seorang fotografer memotret seperti itu. Tidak boleh ada pengarah gaya. Tidak boleh karena itu sangat personal. Beda kalau kita motret fashion, ada stylist. Kalau ini kan tidak. Apa yang saya inginkan, karakter apa yang mau saya tangkap, saya harus mendapatkan itu. Hal yang terakhir sebetulnya bagaimana energi saya, yang di dalam imajinasi saya, bisa saya berikan ke Beliau. Saat kita memotret, secara tidak sadar kita mengalirkan energi kita. Energi itu masuk tertangkap karakter itu. Makanya, kalau kita lihat foto-foto zaman dulu, kita akan kagum betapa foto itu hidup banget. Itu energi. Itu yang saya coba lakukan. Saat kondisi itu sudah terjadi, tinggal kita menjalankan secara berkesinambungan. Sampai kita merasa puas, ya sudah, selesai. Membentuk mood itu hanya sebentar.
Hal yang kedua pasti tidak fokus karena maksimal energi tidak akan keluar dua kali. Itu dari pengalaman saya. Apa yang saya lakukan sekarang ini, ya sudah melalui proses rasa.
Apa yang membedakan memotret model dengan kepala negara?
Jauh karena memotret kepala negara memiliki tanggung jawab moral yang sangat besar, karena itu me-represent bangsa dan negara kita yang dilihat di luar. Bukan hanya foto. Harus ke sana. Makanya, sederhana saja, kalau kita lihat fotonya Pak Karno zaman dulu, kan gila itu, sampai bisa dikoleksi. Seperti itu yang saya inginkan. Nantinya foto-foto Bapak ini bisa menjadi suatu koleksi, suatu sejarah. Saya mau seperti itu karena mempunyai bobot tersendiri. Itulah tantangan saya sebetulnya dan pencapaian itu memang harus kita lakukan lewat sebuah proses.
Seperti apa sosok Jokowi-Maruf di mata Darwis Triadi?
Waktu itu politik panas, kemudian digabungkan. Saya sempat bertanya, apakah kombinasi Bapak dengan Pak Kiai ini matching atau tidak. Tapi pikiran saya itu sirna setelah mengadakan pemotretan pertama dengan Bapak dan Pak Kiai untuk kampanye. Di situ saya melihat sosok Pak Jokowi itu ngemong dan respect kepada Pak Kiai. Itu sangat luar biasa. Sedangkan Pak Kiai memposisikan diri sebagai sosok senior yang wise, tapi dihargai oleh Bapak karena memang posisinya Bapak nomor satu, Pak Kiai nomor dua.
Menurut saya itu suatu siklus energi yang luar biasa. Bahkan pada pemotretan yang kedua, jawabannya konkret, jelas. Bapak Kiai Maruf difoto lebih dulu. Dipersilakan oleh Bapak. Setelah selesai, Bapak mengantarkan ke mobil. Begitu Pak Kiai Maruf sudah pergi, baru Bapak bilang, "Mas, oke sekarang saya sudah siap." Saya sampai bilang, "Saya tidak menemukan kepala negara yang seperti ini." Apa artinya? Pak Jokowi itu betul-betul tidak menempatkan diri sebagai orang nomor satu sebetulnya. Dia melayani. Saat memotret Bapak, saya belajar di situ. Saya melihat luar biasa. Sebetulnya dari apa yang dilakukan sekelibat itu saja, kalau orang normal bisa membaca sosok Pak Jokowi seperti apa? Sederhana, kan? Kita tidak perlu ngomong ngalor-ngidul politik segala macam. Kalau kita orang pintar, begitu melihat dalam beberapa detik, kita bisa tahu. (*)