Dikarenakan terdapat sebuah desakan akan keanggotaan Tri Koro Dharmo lebih luas, maka nama dari perkumpulan ini diubah menjadi Jong Java.
Seluruh pelajar dari Jawa, Madura, Bali dan Lombok bisa bergabung dalam wadah ini.
Berbagai kongres akhirnya dilakukan untuk menyempurnakan dan menyebarkan ke banyak kalangan akan pentingnya peran dari pemuda.
Pemberantasan buta huruf menjadi sasaran dari organisasi ini agar pemuda bisa melihat bebas dunia luar.
Sebenarnya, sudah ada perkumpulan pemuda sebelum Tri Koro Dhamo dengan nama Perhimpunan Indonesia.
Namun, organisasi yang dibentuk pada 1908 itu hanya sebatas perkumpulan mahasiswa yang belajar di Belanda dan belum menunjukan peran aktifnya di Indonesia.
Situasi kemudian berubah saat sejumlah tokoh masuk ke dalam Perhimpunan Indonesia, misalnya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) pada 1913.
Kelak, muncul nama tokoh lain yang dihasilkan Perhimpunan Indonesia dan tercatat berperan penting dalam kemerdekaan, misalnya Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta.
Barulah setelah para mahasiswa Perhimpunan Indonesia itu kembali ke Tanah Air, mereka mulai berhimpun dan bergerak demi kemerdekaan Indonesia.
Para pemuda ini mulai menyadari akan tujuan bersama dan mengurangi perpecahan yang diakibatkan perbedaan mereka yang berasal dari beraneka suku bangsa dan agama.
Dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda (1974) yang diterbitkan oleh Museum Sumpah Pemuda, setelah Tri Koro Dharmo atau Jong Java mulai muncul perkumpulan pemuda kedaerahan lainnya.
Selain Perhimpunan Indonesia, ada juga Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islaminten Bon, Pemuda Kaum Betawi, Pemuda Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan masih banyak lainnya.
Mereka merasa membutuhkan dukungan untuk bisa bersatu demi kemerdekaan.
Baca: Sumpah Pemuda Jadi Momentum Prima Pemersatu Bangsa
Muncul inisiatif untuk bisa menggabungkan dari para perhimpunan pemuda ke dalam sebuah musyawarah besar.