TRIBUNNEWS.COM - Di berbagai belahan dunia, 31 Oktober identik dengan perayaan Halloween, tak terkecuali di Indonesia.
Pada Halloween 2019 ini, beberapa daerah di Indonesia, seperti Jakarta dan Bogor, menyajikan tempat wisata maupun event bertema Halloween.
Di Bogor, sepanjang Oktober 2019, Taman Safari Bogor menampilkan dekorasi yang kental dengan suasana perayaan Halloween.
Sementara di Jakarta, Dufan menyajikan suasana Halloween pada event Friday Night setiap hari Jumat di bulan Oktober 2019.
Dhoni Zustiyantoro (31), seorang pakar budaya yang merupakan Dosen Prodi Sastra Jawa, Universitas Negeri Semarang mengatakan, pada mulanya, Halloween merupakan tradisi umat Kristen yang dilakukan pada malam 31 Oktober untuk mengenang kembali orang-orang suci, santo dan santa, martir, dan mendiang umat-umat beriman yang telah tiada.
"Sebenarnya ritual ini (Halloween, red) bersifat religius. Tapi makin ke sini makin melenceng dan akhirnya menjadi sekuler," ujar Dhoni pada Tribunnews dalam keterangan tertulis, Kamis (31/10/2019).
Dhoni menambahkan, kini orang-orang merayakan Halloween sekadar untuk berlomba-lomba memakai kostum menyeramkan, seperti hantu dan monster.
"Apakah maksudnya orang yang sudah meninggal berubah jadi hantu seperti di dalam film-film yang pernah kita lihat sejak kecil? Tentu saja tidak," ujarnya.
Pengurus Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Provinsi Jawa Tengah itu menjelaskan, dalam konteks kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, untuk mengenang hari wafat seseorang, masyarakat biasa mengadakan selamatan.
Tradisi tersebut dilakukan untuk mendoakan sekaligus mengenang jasa almarhum.
Ketika mengundang orang untuk menghadiri selamatan, tuan rumah pun akan memberikan berkat berisi nasi dan lauk.
"Kalau kita lihat di film-film Hollywood, orang-orang merayakan Halloween sampai bela-belain pakai kostum seram dan mengetuk pintu-pintu rumah tetangga untuk menakut-nakuti sembari berseru, Trick or treat! Tujuannya hanyalah untuk mendapatkan beberapa biji permen dan cemilan manis," kata Dhoni.
Pengaruh Perayaan Halloween di Indonesia
Lebih lanjutnya Dhoni Zustiyantoro menerangkan, masuknya budaya Halloween di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi.
Penetrasi budaya Barat yang demikian masif membuat budaya apa pun yang berasal dari budaya Barat akan dengan cepat terserap ke budaya lain.
Dalam tinjauan kebudayaan, ini berkaitan dengan kapital budaya dan popularitas yang digemari oleh masyarakat.
Terlebih lagi pada internet dan media sosial sekarang ini, kejadian di berbagai belahan dunia sangat cepat tersebar.
"Saya melihat pengaruhnya sebenarnya tidak signifikan terhadap kebudayaan Indonesia secara umum," kata Dhoni.
Menurutnya, kawula muda sekadar merayakan Halloween pada tempat-tempat tertentu, seperti di tempat umum, kafe, atau pinggir jalan.
"Mereka berkumpul di sana mengenakan kostum hantu karena mereka memperlihatkan budaya Barat, maka yang ditampilkan pun kebanyakan setan dari sana, seperti drakula, setan berdasi dan berjas, dan sejenisnya," ujar pria kelahiran Demak tersebut.
Dhoni pun mengatakan, pada era media sosial yang sarat citra ini, pelbagai perayaan itu sekadar untuk lucu-lucuan.
Orang-orang hanya sekadar berkumpul, mengenakan kostum tertentu, dan mengunggahnya ke media sosial.
"Hal yang ingin dicapai tidak lain untuk mendapat banyak jempol di media sosial. Dengan tujuan itu pula kini banyak orang melakukan apa pun untuk mencitrakan diri di media sosial," kata Dhoni.
Melihat masuknya budaya Halloween di Indonesia, Dhoni menyebutkan hal itu tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.
"Saya pikir kita tak perlu khawatir secara berlebihan dalam merespons budaya Barat sejauh memang tak memberi dampak negatif secara langsung," ujarnya.
Dhoni membenarkan bahwa Halloween bukan budaya Indonesia dan mungkin tidak sejalan dengan kebudayaan bangsa ini.
Namun, Dhoni menyebutkan, sejarah membuktikan bahwa Indonesia memiliki ketahanan kebudayaan yang kuat.
"Identitas dan kekhasan budaya kita tidak akan luntur hanya karena Halloween," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Widyadewi)