News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kabinet Jokowi

Dulu Jadi Tim Kampanye di Pilpres, Nurul Arifin Tak Menyangka Kini Jadi Mitra Prabowo di Komisi I

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan) membalas hormat Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kiri) usai acara serah terima jabatan di gedung Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (24/10/2019). Prabowo Subianto menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hubungan seseorang dalam politik sangatlah cair, dari lawan bisa dalam sekejap menjadi kawan.

Setidaknya itulah yang dirasakan Nurul Arifin.

Politikus Partai Golkar tersebut tak menyangka akan menjadi mitra kerja dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Hal tersebut terjadi karena kini Nurul Arifin menjadi anggota Komisi I DPR RI.

Sementara Prabowo Subianto ditunjuk menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) oleh Presiden Joko Widodo.

Nurul Arifin (TRIBUNNEWS/VINCENTIUS JYESTHA)

Komisi I diketahui merupakan mitra kerja dari Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara (BIN), Komunikasi dan Informasi, serta Kementerian Luar Negeri.

Hubungan Nurul Arifin dengan Prabowo Subianto bisa dibilang terus berubah dalam 10 tahun terakhir.

Sambil menengadah wajahnya ke atas, seolah mengingat sesuatu, Nurul Arifin mengatakan hubungan politik dengan Prabowo merupakan pengalaman yang luar biasa.

"Ini suatu pengalaman yang luar biasa buat saya. (Mulai dari) ketika Golkar masih mendukung Prabowo, kita berkoalisi untuk kemenangan pak Prabowo. Saya dengan mas Tantowi (Yahya), mas Sandiaga Uno jadi jubirnya beliau, tapi kalah," ujar Nurul, ketika diwawancarai Tribunnews.com di ruang kerjanya di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2019).

Baca: Pengamat: Sikap Prabowo Tolak Gaji Menteri Sebagai Fenomena Biasa dan Bukan yang Pertama

Hubungan itu kemudian berubah menjadi lawan ketika Golkar memutuskan mendukung Jokowi-Maruf Amin dalam perhelatan Pilpres 2019.

Otomatis Nurul pun berseberangan dengan Prabowo.

Namun, dalam Kabinet Indonesia Maju ternyata Jokowi menunjuk Prabowo menjadi Menhan.

Hal tersebut membuat Prabowo akan menjadi mitra kerja Komisi I tempat Nurul berada.

Keberadaannya di Komisi I pun tak asing bagi perempuan kelahiran Bandung, 19 Juli 1966 tersebut.

Alasannya Nurul sempat mengabdi di sana selama satu tahun setelah sempat duduk di Komisi II DPR RI.

"Jadi ini perjalanan panjang buat saya, (hubungan) pertemanan (dengan Prabowo) gitu ya," katanya.

Di sisi lain, ia melihat menempatkan Prabowo sebagai Menhan cukup tepat.

Menurutnya, dengan berada di posisi tersebut tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi Prabowo yang dinilai Nurul sebagai orang nasionalis.

Nurul yang merupakan lulusan Universitas Indonesia, berharap Prabowo dapat berjalan selaras dengan pemerintah hingga akhir masa jabatan.

"Kemudian bisa mengimplementasikan apa yg menjadi keinginan pak Prabowo sendiri dan memberikan ruang kepada beliau untuk mengekspresikan kecintaannya pada bangsa ini," jelasnya.

"Jadi saya mensyukuri keberadaan pak Prabowo di sini. Mudah-mudahan bisa berjalan selaras dengan pemerintah, dengan pak Jokowi sampai akhir," tambahnya.

Dipanggil Komisi I

Diberitakan sebelumnya, Politikus Golkar Meutya Hafid didapuk menjadi Ketua Komisi 1 DPR RI yang melingkupi tugas di bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen.

Usai pelantikan sebagai Ketua Komisi 1, Meutya mengatakan akan langsung bekerja. Salah satunya memanggil menteri menteri yang baru duduk di kabinet untuk mengetahui program kerja yang akan dilakukan. 

"Tentu dari profil kementerian-kementerian yang jumlahnya juga banyak menteri-menteri baru yang merupakan mitra Komisi I. Kita akan coba panggil untuk mengetahui apa yang akan mereka lakukan, rencana-rencana apa ke depan yang akan dilakukan oleh Kementerian-kementerian yang cukup strategis di bawah Komisi I, termasuk tentu Kementerian pertahanan," ujar Meutya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (29/10/2019).

Selain memanggil Prabowo, Meutya juga akan memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate. 

Sorotan untuk Prabowo

Peneliti Senior Imparsial, Anton Aliabbas, menekankan dua hal yang perlu disoroti oleh Komisi I DPR RI yang berencana memanggil Menteri Pertahanan RI Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto.

Menurut Anton, pertama adalah terkait dengan janji Prabowo dalam debat Pilpres 2019 yang berencana membangun kembali sektor pertahanan RI untuk menjadi Macan Asia karena dinilai lemah.

Hal yang perlu diperhatikan Komisi I DPR RI adalah bagaimana langkah Prabowo sebagai Menteri Pertahanan untuk memajukan kemampuan pertahanan.

Baca: Sandiaga Uno dan Soetrisno Bachir Akan Berbagi Pengalaman Kelola Bisnis Dengan Anak Muda Yogyakarta

"Menjadi penting bagi Parlemen khususnya Komisi I untuk menyoroti apa program dan rencana strategis Prabowo dalam membangun sektor pertahanan ke depan?" kata Anton saat dihubungi Tribunnews.com pada Selasa (29/10/2019).

Hal kedua yang perlu disoroti oleh Komisi I DPR adalah terkait anggaran.

Menurutnya, itu karena dalam lima tahun terakhir ini, Presiden Joko Widodo sudah menaikkan anggaran pertahanan yang cukup signifikan.

Bahkan, menurutnya sepanjang 2014-2018, anggaran pertahanan Indonesia sudah berada lebih dari 1% Produk Domestik Bruto.

Menurut Anton, sekalipun meleset dari target 1,5% dari PDB, nilai anggaran pertahanan Indonesia sudah cukup besar.

"Sayangnya, selama periode pemerintahan Jokowi pertama, pengelolaan anggaran pertahanan masih belum memuaskan. Bahkan, pada tahun 2016, serapan anggaran pertahanan hanya mencapai 87,3 persen dari total anggaran Rp 112,3 triliun," kata Anton.

Baca: Setelah Jadi Menhan, Prabowo Kini Diizinkan Masuk Amerika

Selain itu, menurutnya peningkatan anggaran pertahanan juga tidak terlalu memberi kontribusi positif terhadap modernisasi alutsista.

Ia mengatakan, hal itu ditandai dengan semakin menurunnya proporsi alokasi modernisasi alutsista di dalam anggaran pertahanan.

"Tahun 2018 lalu hanya mencapai 9,1 persen dari total Rp 106,6 triliun, tahun 2019 ini turun lagi menjadi 8,58 persen dari total Rp 109,5 triliun. Dan tahun 2020 mendatang hanya dialokasikan 9,11 persen dari total anggaran 131,2 triliun," kata Anton.

Ia menilai, penurunan proporsi alokasi modernisasi alutsista ini tidak boleh dibiarkan begitu saja sebab percepatan modernisasi persenjataan Indonesia semestinya merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan kenaikan anggaran pertahanan.

Menurutnya, di sisi lain, hasil audit BPK terhadap anggaran pertahanan juga sama.

Ia mengatakan, sepanjang 2015-2018, BPK hanya memberi penilaian Wajar Dengan Pengecualian dan baru tahun 2019, diberikan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian.  

"Oleh karena itu, Komisi I ke depan hendaknya bisa lebih cermat dan mendorong peningkatan proporsi belanja modal termasuk di dalamnya modernisasi alutsista," kata Anton.

Selain itu, menurutnya Komisi I hendaknya juga mendorong Kementerian Pertahanan untuk rutin mempublikasikan laporan kebijakan dan keuangan anggaran pertahanan setiap tahunnya guna mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik di sektor pertahanan.

Karena menurutnya, dengan demikian, publik juga bisa ikut mengawasi penggunaan setiap rupiah oleh Kementerian Pertahanan.

Anton mengatakan, hal tersebut juga harus diikuti dengan dibuka kembalinya akses publik dalam rapat-rapat kerja dengan Kementerian Pertahanan.

Itu karena menurutnya, sejak 2013 lalu, Komisi I telah menutup rapat akses publik untuk mengikuti rapat kerja di sektor pertahanan.

"Mengingat pertahanan adalah urusan publik maka sudah tidak ada pembenaran yang dilakukan Komisi I untuk menggelar rapat kerja secara tertutup. Publik berhak untuk mengetahui apa yang terjadi dalam rapat kerja termasuk apa yang dilakukan wakil rakyat dalam kegiatan tersebut," kata Anton.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini