TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegiat antikorupsi dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo masih belum menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.
"Keputusan ini sebenarnya sudah bisa ditebak. Pada sisi lain keputusan ini makin mengukuhkan persepsi publik bahwa pelemahan KPK tidak hanya agenda sebagian besar parpol," ujar peneliti ILR ini kepada Tribunnews.com, Jumat (1/11/2019).
Dia menilai, Jokowi turut membuat KPK untuk tidak berfungsi secara optimal dalam pemberantasan korupsi di Indonesia karena tidak kunjung menerbitkan Perppu.
"Keputusan ini dapat pula dibaca bahwa dalam 5 tahun ke depan pemberantasan korupsi tidak akan menjadi agenda pemerintah," ucap Erwin Natosmal.
Masih Ada Proses Uji Materi di MK
Presiden Joko Widodo hingga saat ini tidak kunjung menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang KPK hasil revisi, meski banyak tentangan dari masyarakat.
Jokowi melihat saat ini ada pihak yang melakukan proses uji materi UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan langkah tersebut harus dihargai oleh semua pihak, termasuk pemerintah.
"Jangan ada, orang yang masih proses uji materi, kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain (terbitkan Perppu)," papar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/10/2019).
Menurutnya, dalam bernegara maupun bermasyarakat harus saling menghargai satu dengan lainnya, dalam hal ini perlu menunggu hasil putusan dari Mahkamah Konstitusi.
"Saya kira kita harus tahu sopan-santun dalam bertata negaraan," ujarnya.
Diketahui, Hakim MK telah menggelar sidang pengujian Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Agenda sidang perbaikan permohonan perkara diregistrasi Nomor 57/PUU-XVII/2019. Para pemohon berjumlah 190 orang, mayoritas dari mereka masih berstatus mahasiswa.
Seperti dilansir laman MK pada Selasa (22/10/2019) ini, para pemohon memperbaiki alasan mengajukan permohonan terkait eksistensi dewan pengawas KPK. Mereka menyampaikan sejumlah perbaikan permohonan sesuai nasihat hakim di sidang pendahuluan.
Para pemohon menjelaskan dewan pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi.
Menurut pemohon, pembentukan dewan pengawas dalam struktur KPK dilakukan pembentuk undang-undang sebagai upaya pengawasan KPK sehingga lembaga itu tak memiliki kewenangan absolut.
Keberadaan dewan pengawas yang diatur UU KPK justru melemahkan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Baca: Tak Kunjung Terbitkan Perppu KPK, Jokowi: Masih Ada Proses Uji Materi di MK
Baca: KPK Periksa Saksi soal Dokumen Impor Bawang Putih yang Menjerat I Nyoman Dhamantra
Baca: Dalam Sebulan, KPK Harus Tuntaskan Kasus Garuda Indonesia
Kewenangan pengawas KPK telah melampaui batas pengawasan oleh karena dewan pengawas memiliki kewenangan izin terhadap penyadapan, penggeledahan dan penyitaan sehingga hal ini di luar batas sistemik pengawasan karena dewan pengawas bukan aparatur penegak hukum.
Selain itu, para pemohon mempertegas permohonan Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945.
Kemudian, terkait kerugian konstitusional, para Pemohon memasukkan uraian mengenai kerugian konstitusional antar generasi dan kerugian secara kolektif serta kerugian konstitusional individual. Selain itu, Para Pemohon mengubah petitum permohonan.(Seno)