TRIBUNNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat meminta maaf atas ketidakmampuannya dalam mengakomodir semua masukan dan permintaan dalam penyusunan Kabinet Indonesia Maju.
Hal ini disampaikan Jokowi selang dua hari setelah pengumuman dan pelantikan para menteri.
Bahkan, tagar Jokowi minta maaf #JokowiMintaMaaf pun sempat menjadi trending.
"Oleh sebab itu saya sadar, mungkin yang senang karena terwakili dalam kabinet itu hanya 34 orang yang dilantik, yang kecewa berarti lebih dari 266 orang," ujar Jokowi dalam tayangan yang diunggah YouTube KOMPASTV, Sabtu (26/10/2019).
"Jadi saya mohon maaf tidak bisa mengakomodir semuanya, karena ruangnya hanya 34," kata Jokowi.
Baca: Akan Jadi Kapolri, Momen Haru Ibu Idham Azis yang Sepuh Menangis dan Memeluk Anaknya Serta Beri Doa
Dari 304 nama yang diajukan, Jokowi hanya bisa memilih 34 menteri dan 12 wakil menteri.
Sejalan dengan itu, banyak pihak yang menilai ada catatan penting terkait nama-nama di Kabinet Indonesia Maju.
Meskipun sejatinya hal itu adalah hak prerogatif presiden dan wakil presiden dalam memilih dan menentukan siapa yang dipercaya untuk membantunya dalam menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan.
Jokowi Ingin Menteri yang Bisa Tangkal Radikalisme
Penempatan para purnawirawan atau jenderal di kabinet Jokowi disinyalir kuat untuk mencegah radikalisme atau mengurangi bahaya radikalisme yang dianggap mengancam keutuhan NKRI.
Beberapa pos menteri ditempati oleh purnawirawan, lima dari tentara dan satu dari polri.
Baca: VIDEO: Prabowo Bantah Disebut Tak Akan Terima Gaji, Rumah, dan Mobil Dinas: Beritanya dariMana?
Termasuk Menteri Agama Fachrul Razi dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Peneliti Senior LIPI Syamsuddin Haris menuturkan, ancaman radikalisme itu sesuatu yang nyata.
"Ada Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang afiliasi ke Islam Irak dan Syam (ISIS), ada pemboman ada penusukan," tutur Haris dalam tayangan 'ROSI' yang diunggah YouTube KOMPASTV, Kamis (31/10/2019).
"Cuma jangan pula ini digembar-gemborkan seolah-olah bangsa ini mau mati akibat radikalisme," kata Haris.
Haris menambahkan, ketahanan bangsa Indonesia dengan pengalaman sekian puluh tahun patut disyukuri.
Oleh sebab itu, menurut Haris narasi mengenai radikalisme seolah-olah menjadi ancaman utama, padahal sebenarnya ancaman utama bangsa adalah ekonomi.
Baca: Ganjar Pranowo Dikabarkan Akan Jadi Lawan Anies Baswedan di Pilpres 2024, Ini Kata Gubernur Jateng
Haris menjelaskan, radikalisme tidak perlu menjadi narasi yang dibesar-besarkan.
Sebab, menurutnya bangsa Indonesia mesti menghadapi resesi ekonomi, persaingan dagang dan lain sebagainya yang sudah nyata di depan mata lima tahun kedepan.
Haris menuturkan, stabilitas bangsa stabil, hanya saja banyak kegaduhan yang tengah terjadi di negara Indonesia, salah satunya adalah isu mengenai radikalisme.
(Tribunnews/Nanda Lusiana Saputri)