TRIBUNNEWS.COM - Isu radikalisme kembali hangat di Indonesia, sehingga meyebabkan terjadinya perdebatan juga munculnya pernyataan yang menyinggung soal radikal membuat masyarakat kaget.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Prof. Irfan Idris dalam acara Indonesia Lawyers Club TVOne pada Selasa (5/11/2019), menjelaskan empat kriteria radikal yang harus dipahami masyarakat
Diketahui sebelumnya, kata radikal berawal dari kata radiks yang artinya akar, sehingga orang yang radikal ingin adanya kemajuan dan perubahan dari masyarakat yang ada.
Menurut Prof. Irfan Idris orang yang radikal tidak memiliki kriteria secara fisik.
Kriteria radikal menurut Prof. Irfan Idris tersebut yakni:
Pertama intoleran, tidak siap berbeda
"Padahal Allah dalam Alquran menyebutkan 8 kali. 'Seandainya saya menginginkan umatku satu model, satu keimanan, satu paham, satu mazhab. Tetapi saya tidak inginkan itu. Yang saya inginkan terjadinya perbedaan, karena perbedaan adalah dinamika, perbedaan adalah kekuatan, perbedaan bukan pertentangan' ," terangnya.
Kedua masuknya konsep takfiri
Dirinya tidak menjelaskan lebih lanjut karena ia tidak tahu asal mula dari mana konsep takfiri muncul.
Irfan hanya menyebutkan bahwa takfiri telah masuk ke Indonesia.
Ketiga menolak NKRI
NKRI adalah potongan-potongan surga yang diturunkan oleh Allah di bumi persada ini.
"Masyarakat Indonesia semua memiliki agama. Tapi Indonesia bukan negara agama. Negaranya orang beragama. Sudah selesai ideologi kita pancasila. Mari kita mengisi, menginternalisasikan nilai-nilai syariat Islam yang Allah turunkan. Sesuai maksudnya," pungkasnya.
Keempat adalah menolak pancasila
Pancasila adalah platform yang kita dirikan, kita sepakati, dan telah disetujui oleh para ulama juga santri.
Pancasila ditetapkan sebagai ideologi kita berbangsa.
Kendati demikian, dia menyayangkan adanya orang-orang yang membentur antara negara dengan agama.
Kondisi ini yang akhirnya membuat keributan di masyarakat.
"Ada pertanyaan yang selalu dimunculkan oleh kelompok yang tidak senang kepada NKRI, yaitu Anda Islam, Anda beragama, tapi Anda milih mana; kitab suci Anda Alquran atau Pancasila?" Irfan membuka dialektikanya.
Bagi Irfan hal tersebut merupakan pertanyaan yang salah akan logikanya.
Alasannya karena dibenturkan dengan hal yang tidak sepaham dan tidak cocok.
Ia menjelaskan Alquran diturunkan secara global, kemudian ada hadis yang menguraikan.
Lalu, ada paham ulama, ijtihad ulama yang ditetapkan.
Sementara itu, radikal menurut Irfan dibagi menjadi radikal konstruktif dan radikal destruktif.
Direktur Deradikalisasi BNPT tersebut juga menyebutkan ada 5 istilah di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang dielaborasi untuk mencerahkan masyarakat.
Irfan menyebutkan lima istilah tersebut yang pertama radikal, kedua radikalisasi, ketiga radikalisme, keempat radikal terorisme, dan kelima deradikalisasi.
Irfan mengimbau agar jangan dengan mudah menjustifikasi seseorang sebagai orang yang radikal hanya karena simbol, bahasa, atau latar belakang pendidikan.
"Radikal itu radis, berpikir sampai akar-akar, sampai tuntas, holistik dari huku ke hilir,"
Menurut Irfan, ciri orang yang berpikir radikal, radiks dalam arti positif ada tiga, yakni berpikir komprehensif, berpikir sistematis, dan berpikir universal.
Ia mencontohkan apabila terdapat orang yang merasa benar sendiri maka dirinya tidaklah radikal.
"Jadi kalau merasa diri benar, itu tidak radikal. Orang lain salah semua. Hanya bacanya yang benar, hanya gurunya yang benar, hanya mazhabnya yang benar, hanya kitabnya yang benar, itu tidak objektif namanya, itu subjektif,"
Irfan mengatakan, radikalisasi merupakan proses, di sinilah mulai melenceng makna radikal dari positif menjadi negatif.
Ia mengutip dari buku "Ilusi Negara Islam", bahwasannya radikalisme itu ada empat maknanya dan empat tujuannya.
Pertama, radikalisme ingin merubah keadaan dengan radiks, yakni sampai tuntas ke akar-akarnya.
Kedua, radikalisme menginginkan gerakan secara cepat bukan lamban.
Ketiga dan keempat hampir sama yakni radikalisme memaksakan kehendak, mengatasnamakan agama dan menggunakan kekerasan.
"Kita harus pahami secara radikal juga ini kata radikal, radiks. Jangan sepotong-sepotong. Kita harus secara holistik dari hulu ke hilir," tegasnya.
Sebelumnya, isu radikal kembali mencuat setelah Menteri Agama Fachrul Razi mendengungkan tentang penggunaan cadar di masyarakat.
Masalah ini kemudian menjadi polemik di masyarakat terkait juga penggunaan celana cingkrang.
Tidak hanya itu, larangan dikeluarkan atau dinyatakan di beberapa instansi yang tidak mengizinkan pegawai negeri di instansi tersebut untuk memakai celana cingkrang dan cadar. (*)
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)