TRIBUNNEWS.COM - Budayawan Betawi, Ridwan Saidi hadir sebagai narasumber dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC), Selasa (12/11/2019).
Dalam acara yang dipandu Karni Ilyas, Ridwan Saidi menyampaikan argumennya terkait polemik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
Setidaknya, ada tiga hal yang disampaikan Ridwan Saidi dalam acara bertema Anies Tak Putus Dirundung Tuduhan.
Apa saja?
1.Konsep Konghucu
Analogi yang pertama dikutip Ridwan Saidi berasal dari Konghucu yang menerangkan, apabila ingin mengerjakan sesuatu, bereskanlah terlebih dulu soal istilah-istilah.
Setelah dibereskan, lanjut Ridwan, barulah mulai mengerjakan suatu hal.
"Saya penggemar Konghucu, karena Konghucu berkata, 'kalau mau mengerjakan lebih dulu bereskanlah istilah' agar tidak menimbulkan salah paham," tuturnya.
Menurutnya, polemik APBD DKI yang terjadi adalah kesalahpahaman karena tidak segera membereskan istilah-istilah yang ada dan menimbulkan prasangka.
Baca : Polemik APBD Jakarta dalam Analogi Ridwan Saidi: Ibarat Pohon Angsana hingga Bangunan Budaya
Analoginya yang disampaikan Ridwan selanjutnya terkait pohon angsana.
"Termasuk tebang pohon angsana sembarang, padahal pohon angsana itu mempunyai urat-urat yang bagus kalau dibikin meja," tuturnya.
Ridwan mengatakan, pohon angsana merupakan pohon yang memiliki banyak fungsi, tapi dianggap kurang istimewa.
"Angsana itu berguna luar biasa. Pokok kayu yang gampang lapuk, kalau di dalam rumah dipakai untuk penglari, tiang di atas tembokan untuk menghubungkan kuda- kuda atau kusen," tuturnya.
Walau bukan pohon yang istimewa, tapi angsana berguna sebagai obat-obatan.
"Mungkin pengkritik, penggemar babakan angsana, karena babakan angsana kalau diseduh airnya bisa menyembuhkan bengkak-bengkak di tenggorokan," jelasnya
Dari analogi tersebut, Ridwan menyampaikan kritikan yang muncul ketika angsana ditebang, ada beberapa orang yang membutuhkan angsana.
"Mungkin si pengkritik mengalami gangguan semacam itu. Sehingga dia akan kesulitan kalau angsana itu ditebang," tegasnya.
Baca : Ahok Diisukan Tempati Posisi Vital BUMN, Ini Harapan Staf Khusus Kementerian BUMN
3. Bangunan Budaya
Ridwan Saidi kembali memberikan pendapat terkait bangunan kebudayaan.
Ada beberapa bangunan yang menjadi ikon kota.
Sebut saja Kota Cianjur yang memiliki dua bangunan purbakala berarsitektur Armenia di Pacet dan Kota Cianjur.
Pasuruan juga memiliki satu ikon, sedangkan Jakarta memunyai Kota Tua.
Sayangnya, Betawi tidak memiliki ikon seperti Istana Pagar Ruyung.
"Istana Pagar Ruyung kita tidak ada," katanya.
Dia lantas mengutip slogan Maju Kotanya, Maju Warganya yang merupakan slogan Anies Baswedan saat berkampanye di Pilkada DKI Jakarta.
"Lalu Maju Kotanya, Maju Warganya, kita tidak ada. Belum ada satu rumah adat atau rumah lama yang dipugar atau menjadi cagar Pemda DKI," ujarnya.
Ridwan Saidi mengatakan, tidak ada satu pun bangunan di DKI Jakarta yang mewakili peradaban Betawi.
"Yang di Srengseng Sawah itu bohong-bohongan. Itu rumah bikinan kemarin sore, jadi itu tidak mewakili. Kalau kita bilang, dia tidak mewakili peradaban Betawi," katanya.
Srengseng Sawah adalah sebuah kelurahan di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Baca : Taufiqurrahman Soroti APBD DKI: 1 Tahun Pemda DKI Bakal Beli 7,2 Juta Penghapus, Masuk Akal Nggak?
"Apakah masih ada rumah yang berusia 1 abad di Jakarta yang mewakili peradaban Betawi? Yang materialnya masih asli? Ada. Saya bisa tunjukkan," tegasnya.
Baginya kebahagiaan warga merupakan hal penting dari keberadaan pemerintah.
Bahagia tersebut diukur dari keberadaan rumah yang menjadi ikon suatu masyarakat, yang mampu menampung sejarah.
"Kenapa tidak dipikirkan ini? Hal yang sangat penting, kami ini kan, Maju kotanya, bahagia warganya. Sebagai orang Betawi saya belum bahagia," katanya.
Ridwan meminta agar pemerintah bersedia mengusahakan yang terbaik demi kebahagiaan masyarakatnya, dan tidak melupakan jati dirinya sebagai kota yang memiliki sejarah.
"Tolonglah diusahakan Pemda DKI untuk mencari rumah itu. Rumah yang masih berusia 1 abad. Dan itu tembokan, bukan dari gedek. Oke punya," tuturnya bercampur logat Betawi.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)