News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengamat Intelijen dan Keamanan UI: Media Sosial Jadi Penyebab Utama Anak Muda Terpapar Radikalisme

Penulis: Rica Agustina
Editor: Tiara Shelavie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mata Najwa: Bom Bunuh Diri, Kenapa Lagi?

TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Intelijen dan Keamanan Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta mengungkapkan, media sosial menjadi penyebab utama kalangan anak muda mudah terpapar radikalisme.

Berbeda dengan kelompok radikalisme zaman dulu yang merekrut calon terorisme secara tatap muka.

Kelompok perekrut terorisme masa kini akan menyebarkan konten-kontennya di internet secara acak.

Ketika ada anak yang tertarik dengan konten radikalisme tersebut, perekrut akan menghubungi calon teroris.

Stanislaus pun menyayangkan pihak pemerintah yang tidak menindaklanjuti dengan tegas hal tersebut.

Pengamat Intelijen dan Keamanan UI, Stanislaus Riyanta (Tangkap layar channel YouTube Najwa Shihab)

"Saya heran, kenapa tidak ada langkah yang spesifik untuk melakukan blokir terhadap konten-konten tersebut (radikalisme), kita akan blokir satu sekarang akan muncul seribu," ungkap Stanislaus Riyanta dilansir dari YouTube Najwa Shihab (13/11/2019).

Selain itu kurangnya pengawasan dari orangtua juga menjadi faktor anak muda terkena radikalisme.

Biasanya orangtua yang menganggap anaknya terlihat baik-baik saja, akan kaget saat mengetahui anaknya terlibat aksi terorisme.

Stanislaus memberikan contoh, pelaku pengeboman di Gereja Katolik Medan, Sumatera Utara (28/8/2019) yakni pelajar yang mempunyai masalah di sekolahnya.

Kemudian pelaku mencari di internet mengenai cara membuat bom.

Pelaku memang tidak bergabung dengan kelompok manapun, pelaku ini kan menjadi pelaku yang merencanakan sendiri dan melakukan aksinya sendiri.

Hal itu justru yag sangat berbahaya, karena tidak dapat terdeteksi.

Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abdul Rohim Ghazali.

Mendukung pendapat Stanislaus, Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abdul Rohim Ghazali mengatakan, ketidakpedulian terhadap paham radikalisme juga menjadi penyebab kalangan anak muda rentan terpapar radikalisme.

"Kepala sekolah tidak peduli, orang tua siswa juga tidak peduli, jadi ynag masuk adalah perekrut," kata Abdul.

Menurutnya, ada tiga pintu masuk di sekolah yang digunakan para perekrut teroris, yakni melalui guru, kepala sekolah yang biasanya berupa kebijakan, dan lewat alumni.

Alumni mempunyai peran besar dalam memasukkan paham radikalisme di sekolah.

Mereka bisa intervensi lewat organisasi sekolah, OSIS ataupun ROHIS.

"ROHIS pada saat mencari penceramah biasanya akan melalui alumni-alumni, alumni-alumni yang dianggap punya pemahaman agama yang bagus itu rujukannya," ungkapnya.

Ketua PBNU Tanggapi Aksi Bom di Polrestabes Medan: Radikalisme Itu Penyakit

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud memberikan tanggapan tekait aksi bom bunuh diri yang terjadi di Polrestabes Medan (13/11/2019).

Menurutnya, masalah radikalisme yang terus terjadi disebabkan pemahaman yang tidak tepat.

Radikalisme adalah penyakit yang tidak bisa diobati hanya dengan pelarangan cadar, obat dari radikalisme adalah pemahaman.

"Radikalisme itu penyakitnya, 'jangan hanya' diobati dengan pelarangan cadar, karena itu sama dengan penyakit panas yang diobati dengan es," tutur Marsudi Syuhud dilansir dari YouTube Najwa Shihab (13/11/2019).

Ia menekankan kata 'jangan hanya' saat berbicara, dan mengibaratkan radikalisme dengan penyakit panas yang diobati dengan es.

"Penyakit panas mungkin karena sakit tenggorokan, memang ada benarnya untuk mengompres dengan es. Begitu pula dengan cadar, mungkin ada benarnya karena ketika ada pengeboman dilakukan orang bercadar. Artinya yang harus ditemukan obatnya adalah pemahaman," paparnya.

KH. Dr. Marsudi Syuhud (humas bnpt)

Hilangnya Mata Pelajaran Pemahaman Moral Pancasila (PMP) sejak awal era reformasi (1998) hingga sekarang, membuat masyarakat di generasi tersebut kehilangan pemahaman tentang kenegaraan.

Akibatnya, generasi ini rawan disusupi paham-paham radikalisme.

"Mestinya Menteri Agama atau Pemerintah menambahkan materi di buku agama terkait Pemahaman terhadap Negara Pancasila menurut agama Islam misalnya, itulah obatnya, bukan larangan cadar," ungkapnya.

Menurutnya aksi pengeboman di simbol-simbol negara, mengindikasikan bahwa kelompok masyarakat tertentu masih menganggap Negara Indonesia bukan negara yang islamik namun masih politik dan hukum.

Ia juga menyatakan, rata-rata para pelaku aksi pengeboman berasal dari sekolah umum.

Di sekolah umum seperti SD, SMP dan SMA, ajaran agamanya kurang.

Sehingga orang yang dulunya bersekolah di sekolah umum, ketika kuliah akan mencari sumber pengetahuan agama.

"Yang dari SD, SMP masih kekurangan tentang ajaran agamanya, kemudian masuk SMA atau Perguruan Tinggi, eksistensi orang ini ingin disebut sebagai orang yang agamis, maka ia akan mencari-cari (agama)," katanya.

Marsudi pun menyarankan, sebaiknya pada tahap tersebut para orangtua benar-benar mengawasi anak-anaknya terkait organisasi yang diikutinya.

"Ketika yang dicari-cari itu Kiai NU, Muhammadiyah, Al Washliyah, organisasi yang eksis di Indonesia itu lumayan," katanya.

Ia berharap anak-anak yang akan berorganisasi untuk mengikuti organisasi yang sudah benar-benar eksis, untuk menghindari bergabung dengan organisasi-organisasi radikal.

(Tribunnews.com/Rica Agustina)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini